BERITA

Amnesty: Publik Pesimis Pada Pemerintah, Tapi Belum Apatis

Amnesty: Publik Pesimis Pada Pemerintah, Tapi Belum Apatis

KBR, Jakarta - Amnesty International (AI) Indonesia menilai saat ini publik pesimis terhadap pemerintah dalam penanganan kasus HAM.

Namun, AI Indonesia yakin publik belum apatis atau bersikap masa bodoh. Hal itu tercermin dari tingginya partisipasi publik dalam kampanye AI Indonesia yang bertajuk PENA: Pesan Perubahan.

Dalam Kampanye PENA, AI Indonesia mengajak publik menuliskan aspirasinya untuk pemerintah dalam surat atau kartu pos.

"Antusiasme masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi ternyata tinggi. Dalam waktu kurang dari tiga bulan terkumpul hampir 5.000 kartu pos dan surat dari berbagai penjuru Indonesia," jelas AI Indonesia dalam rilisnya yang diterima KBR, Selasa (10/12/2019).

"Dengan kampanye PENA ini, ditemukan bahwa di tengah pesimisme yang cukup besar pada kemampuan pemerintah, masyarakat ternyata belum apatis," jelas AI Indonesia.


Delapan Aspirasi Publik di Kampanye PENA

Dari semua kartu pos dan surat yang terkumpul dalam Kampanye PENA, ada delapan fokus isu yang disuarakan publik, yakni:

    <li>Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (17 persen)</li>
    
    <li>Mendesak pembentukan Tim Pencari Fakta kasus Novel Baswedan (14 persen)</li>
    
    <li>Mendesak pemerintah mengakhiri kekerasan di Papua (14 persen)&nbsp;</li>
    
    <li>Mendesak pencabutan aturan diskriminatif berbasis agama (13 persen)&nbsp;</li>
    
    <li>Menuntut penghapusan impunitas, termasuk menyelesaikan kasus orang hilang (11 persen)</li>
    
    <li>Menuntut kepastian larangan kerja paksa di sektor perkebunan sawit (11 persen)</li>
    
    <li>Mendesak pelarangan diskriminasi minoritas gender (9 persen)</li>
    
    <li>Mendesak pencabutan hukuman kejam seperti hukuman mati (6 persen)</li></ul>
    

    Menurut Direktur Eksekutif AI Indonesia Usman Hamid, berbagai aspirasi itu menunjukkan bahwa publik masih punya harapan pada negara.

    "Ini menunjukkan bahwa publik sebenarnya masih ingin percaya pada kapasitas negara dalam memastikan terwujudnya keadilan, sehingga mereka mau melayangkan harapan melalui kampanye ini," kata Usman dalam rilisnya, Selasa (10/12/2019).

    "Seharusnya, pemerintah menyambut antusiasme ini dengan tindakan nyata agar kepercayaan masyarakat, khususnya korban, tidak semakin menurun," lanjutnya

    Usman Hamid mengutip hasil survei Komnas HAM dan Harian Kompas yang menyebut 99,5 persen responden mendambakan penyelesaian kasus HAM melalui pengadilan. Namun, pada saat bersamaan, para responden itu meragukan kemampuan negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM.

    “Ketika kepercayaan publik pada kemampuan negara masih goyah, maka semua tujuan pembangunan akan sulit dicapai. Ini menjadi tanda kepada negara, bahwa untuk mendapat dukungan dari masyarakat, pemerintah harus bisa mewujudkan keadilan yang menyeluruh," kata Usman lagi.

    Editor: Agus Luqman

  • HAM
  • pelanggaran ham
  • Kasus Pelanggaran HAM masa lalu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!