RAGAM

Hasil Konfrensi Iklim COP26 Glasgow tidak Membuahkan Hasil Maksimal

"Seluruh bukti saintifik yang ada menunjukkan bahwa kita menuju bencana iklim permanen, bila langkah-langkah perubahan fundamental pada ekonomi global tidak dilakukan mulai sekarang."

Hasil Konfrensi Iklim COP26 Glasgow Kurang Memuaskan
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak memberikan pemaparan pada webinar “Kesepakatan Final COP26 Glasgow Jauh Dari Harapan”.

KBR, Jakarta - Konferensi iklim COP26 di Glasgow baru saja usai pada tanggal 1-12 November 2021 lalu. COP26 merupakan pertemuan yang mengevaluasi hasil dari Paris Accord yang berisikan persetujuan target-target spesifik yang kuat dan terukur demi mencapai target utama pemanasan global maksimum 1,5 derajat Celcius.

COP26 pada akhirnya tidak melahirkan kesepakatan ambisius, mengingat COP adalah konferensi iklim tertinggi yang dihadiri oleh banyak pemimpin dunia yang seharusnya menjadi momentum krusial dan ujian bagi kemanusiaan.

Terhadap hasil COP26, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, “COP Glasgow seharusnya bisa menyepakati target-target spesifik yang kuat dan terukur demi mencapai target utama pemanasan global maksimum 1,5 derajat Celcius. Nyatanya itu tidak terjadi. Di menit-menit terakhir justru sejumlah negara besar seperti India, Saudi Arabia dan Australia mengusulkan pelonggaran target berdasar kepentingan nasional masing-masing.

red
Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia, Kiki Taufik memberikan pemaparan pada webinar “Kesepakatan Final COP26 Glasgow Jauh Dari Harapan”.

Upaya memerangi krisis iklim, menurut Leonard, membutuhkan kerja sama global yang benar-benar harus berdasarkan bukti saintifik. Seluruh bukti saintifik yang ada menunjukkan bahwa kita menuju bencana iklim permanen, bila langkah-langkah perubahan fundamental pada ekonomi global tidak dilakukan mulai sekarang.

Indonesia termasuk ke dalam daftar yang setidaknya terdapat 23 negara yang berkomitmen melakukan penutupan operasi PLTU batu bara secara bertahap. Dan pemerintah pun telah mengumumkan rencana penutupan operasi PLTU batu bara sebelum 2040, bila mendapat dukungan internasional. Rencana yang akan mengurangi emisi dari sektor energi secara signifikan ini diharapkan bisa terealisasi secara konkret.

Masalahnya, RUPTL 2021-2030 justru masih menempatkan batu bara sebagai sumber energi utama. Oleh karena itu, perlu perubahan kebijakan energi secara mendasar dengan timeline yang jelas dan terukur. “Dalam hal pendanaan, sudah dan akan semakin banyak institusi finansial di luar negeri yang berhenti membiayai investasi terkait batu bara. Hal ini harus diikuti oleh lembaga perbankan nasional. Pembiayaan di sektor energi harus beralih dari batu bara ke energi bersih dan terbarukan,” ujar Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.

Di sektor kehutanan, Greenpeace mendesak pemerintah untuk berkomitmen melindungi hutan alam dan lahan gambut yang tersisa, menghentikan izin-izin baru dan melakukan evaluasi terhadap izin-izin konsesi yang sudah dikeluarkan, serta memperkuat penegakan hukum untuk mencapai nol deforestasi. Memperkuat moratorium hutan dan lahan gambut dengan regulasi yang kuat dan mengikat pada level Peraturan Presiden, dan melanjutkan moratorium sawit dengan berfokus kepada penyelamatan hutan alam, khususnya hutan alam yang tersisa dan belum dilindungi moratorium hutan dan gambut, dan mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat adat.

Menurut analisa Greenpeace, selama periode moratorium hutan dan gambut (2011-2018) total deforestasi di area moratorium mencapai 1,2 juta hektar (ha), sedangkan total deforestasi Indonesia baik di dalam dan di luar area moratorium mencapai 4,38 juta ha. Artinya, tingkat deforestasi di area moratorium mencapai 27,4% dari keseluruhan deforestasi yang terjadi di Indonesia.

“Kami melihat target utama Indonesia dalam mengatasi krisis iklim dengan mencapai nol deforestasi sesuai dengan komitmen yang ditandatangani Presiden Jokowi. Kami pun menolak skema carbon offset karena memberikan hak berpolusi pada pencemar, dan menimbulkan potensi konflik baru pada masyarakat adat atau komunitas yang tinggal dan menggantungkan hidup pada hutan,” ujar Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace untuk Indonesia.

“Sains menyatakan bahwa untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius, emisi global harus berkurang 45% pada tahun 2030, bila dibandingkan dengan emisi global tahun 2010. Kita masih sangat jauh dari itu. Tapi COP26 Glasgow menunjukkan bahwa kita bisa lebih jauh dari target tersebut tanpa tekanan yang militan dari kaum muda, masyarakat adat, gerakan perempuan, dan gerakan iklim global. Kita masih punya banyak kerja ke depan untuk memastikan target-target yang lebih ambisius bisa disepakati di COP27,“ tutup Leonard.

Baca juga: Aktivis Lingkungan Tolak Klaim Jokowi di COP26

Editor: Paul M Nuh

  • adv
  • COP26
  • greenpeace indonesia
  • perubahan iklim
  • paris accord

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!