HEADLINE

Kemungkinan Jerat Pidana bagi Polisi Penembak Agustinus

Kemungkinan Jerat Pidana bagi Polisi Penembak Agustinus

KBR, Jakarta - Agustinus Anamesa terbaring di rumah sakit dan menunggu persiapan amputasi, Selasa (23/10/2018). Kaki kanannya ditembak peluru polisi pada pengujung Agustus 2018. Akibat itu, telapak kakinya menghitam, sementara pinggiran betisnya growak sehingga daging juga tulang kakinya kelihatan.

Pria usia 25 dengan nama panggilan Engki itu jadi korban penyiksaan serta penembakan angggota Kepolisian Sumba Barat. Ia ditangkap karena tuduhan pencurian motor dan ternak. Tapi hingga kini pun, menurut kuasa hukum Agustinus, Petru Lolu, kasus kliennya itu tak jelas. Karenanya ia berencana meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) kepolisian.

Menurut Petrus, sejak Agustinus diburu karena disangka mencuri pada pada 23 Agustus lalu, pihaknya belum mendapat kejelasan perkembangan perkara dari polisi.

"Langkah hukum berikutnya adalah permintaan SP2HP, ke Polda karena status kasus itu kan sudah diputuskan oleh Propam Polda Nusa Tenggara Timur yang lalu. Untuk awal mungkin itu dulu," ungkap Petrus saat dihubungi KBR, Selasa (23/10/2018).

Sudah tak jelas penanganan perkara, kliennya juga harus menanggung sakit akibat penembakan yang dilakukan polisi. Belum lagi, menurut Petrus, sanksi yang didapat polisi juga dianggap belum setimpal dibanding dengan apa yang menimpa kliennya. Ia juga mempertanyakan, proses sanksi etik yang hanya menyasar lima polisi. Padahal menurutnya, ada delapan polisi yang diduga menjadi pelaku kekerasan terhadap Agustinus.

"Sekarang hanya lima orang. Kalau menurut korban, ada delapan orang, yang dikenal persis adalah atas nama Dekris Matta sekaligus pemimpin atau Kasit Buser atau Buru Sergap."

Petrus Lolu juga menyayangkan sikap polisi yang dianggap tidak jujur, independen dan transparan memproses kasus yang menimpa Agustinus. Ini ditunjukkan misalnya, dari tidak diizinkannya ia maupun keluarga kliennya mendampingi Agustinus saat proses sidang etik. Padahal, seharusnya korban mendapat pendampingan saat ada proses hukum.

Baca juga:

    <li><b><a href="https://kbr.id/NASIONAL/06-2018/setahun_terakhir__kontras_catat_polisi_dan_tni_jadi_pelaku_terbanyak_kasus_penyiksaan/96458.html">Setahun Terakhir, Kontras Catat Polisi dan TNI Jadi Pelaku Terbanyak Kasus Penyiksaan</a>&nbsp;<br>
    
    <li><a href="https://kbr.id/nasional/05-2018/6_fakta_yang_terungkap_dari_sidang_kasus_la_gode/96220.html"><b>6 Fakta Sidang La Gode, Warga yang Disiksa Karena Dituduh Mencuri Singkong</b></a>&nbsp;<br>
    


Polisi Janji Buka Lagi Kasus Agustinus

Terkait penembakan terhadap Agustinus, kepolisian mengganjar lima anggotanya di Polres Sumba Barat dengan sanksi teguran tertulis. Hukuman bagi polisi yang diduga melakukan kekerasan, menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indriyati tak cukup sebatas disanksi etik. Penembakan ini, menurutnya bisa diproses ke ranah pidana.

Apalagi, sesuai Peraturan Kapolri tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia, polisi dilarang menggunakan kekerasan dalam melaksanakan tugas.

"Model-model penyiksaan seperti ini kan tidak bisa ditoleransi seperti itu, dan pelakunya jika benar yang bersangkutan melakukan tindak kekerasan ya mesti, harus dihukum. Hukumannya dengan hukuman pidana, enggak cukup dengan etik ataupun disiplin," kata Poengky kepada KBR, Selasa (23/10/2018).

Ia pun meminta, Propam Mabes Polri turut terlibat dalam penyelidikan kasus kekerasan terhadap warga Sumba Barat, Agustinus. Sebab Poengky ragu, Propam Polres bakal adil menangani kasus tersebut.

"Kalau melihat ada korban luka sampai segitunya, dan sudah ada pemeriksaan dari Propam ya aparat harus membuka ke publik. Atau Propam Mabes Polri harus turun untuk memeriksa, karena kalau hanya Propam Polres itu kurang mengigit."

Kompolnas juga bakal meminta keluarga atau pendamping Agustinus segera membuat laporan, agar lembaga itu bisa langsung menangani. Poengky beralasan, Kompolnas tetap perlu mengklarifikasi ulang dan melakukan gelar perkara ke Polda yang bersangkutan. Menurutnya, meski Kompolnas tak memiliki hak investigasi namun lembaga pengawas polisi ini punya hak gelar perkara.

Sementara Markas Besar Kepolisian Indonesia menyatakan bakal memproses lima polisi penganiaya dan penembak Agustinus Anamesa, warga Sumba Barat korban kekerasan aparat. Juru bicara Mabes Polri, Setyo Wasisto mengatakan akan memeriksa kembali kasus tersebut.

"Nanti saya cek dulu ya. Aturannya kalau dia melanggar hukum ya dihukum, polisi tidak kebal hukum. Kalau dia (korban) mengajukan (kompensasi) ya bisa ke LPSK," kata Setyo.

Baca juga:

    <li><b><a href="http://kbr.id/headline/04-2018/lbh_jakarta__8_dari_10_orang__disiksa_saat_pemeriksaan_polisi/95846.html">LBH Jakarta: 8 dari 10 Orang Disiksa Saat Pemeriksaan Polisi</a></b></li>
    
    <li><b><a href="http://kbr.id/headline/10-2016/komnas_ham__laporan_pengaduan_kasus__polri_paling_banyak_langgar_ham/85876.html">Komnas HAM: Laporan Pengaduan Kasus, Polri Paling Banyak Langgar HAM</a></b><br>
    




Editor: Nurika Manan

  • Agustinus Anamesa
  • kekerasan aparat
  • kekerasan
  • penembakan warga
  • kekerasan polisi
  • NTT

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!