BERITA

Kasus Baiq Nuril dan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan

Kasus Baiq Nuril dan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan

KBR, Jakarta- Mahkamah Agung (MA) menolak upaya Peninjauan Kembali (PK) kasus yang menimpa Baiq Nuril. Putusan ini kemudian mencederai rasa keadilan sejumlah warga, hingga muncul petisi online bertajuk Bebaskan Ibu Nuril dari Jerat UU ITE.

Sampai Senin pagi (5/7/2019), petisi bertagar #SaveIbuNuril tersebut sudah ditandatangani lebih 315 ribu orang.

Petisi itu menuntut, “Bebaskan Ibu Nuril dan hukum pelaku pelecehan seksual tersebut seberat-beratnya. Karena Ibu Nuril sesungguhnya adalah korban dari atasannya yang berperilaku seperti predator dan sistem hukum yang tidak berpihak kepada yang lemah.”


Kronologi Kasus Baiq Nuril

Kasus Baiq Nuril bermula tahun 2012 ketika ia ditelepon oleh atasan kerjanya, Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 7 Mataram.

Di momen itu, si kepsek menceritakan adegan hubungan seksualnya dengan seorang perempuan secara detil kepada Nuril, Seperti tercatat dalam Putusan MA No. 574 K/Pid.Sus/2018.

Merasa tidak nyaman, Nuril merekam omongan si Kepsek dan memberitahukan “bukti pelecehan” itu kepada rekan kerjanya. Tapi tanpa Nuril duga, beberapa tahun kemudian rekamannya tiba-tiba tersebar.

Tahun 2015 si Kepsek melaporkan Nuril ke polisi atas tuduhan merekam dan menyebarkan rekaman pribadi.

Tahun 2017 Nuril kemudian ditahan polisi atas tuduhan melanggar UU ITE, khususnya terkait penyebaran konten asusila.

Peradilan tingkat pertama sudah menyatakan Nuril tidak bersalah. Tapi tahun 2018, kuasa hukum si Kepsek mengajukan banding ke MA dan di situlah vonis berubah.

MA menyatakan Nuril bersalah karena:

Akibat perbuatan terdakwa (Nuril), karier Haji Muslim sebagai Kepala Sekolah terhenti, keluarga besar malu dan kehormatannya dilanggar.

Nuril pun diganjar hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Awal 2019 kuasa hukum Nuril mengajukan PK menggunakan pasal kekeliruan hakim. Namun MA menolak dengan alasan:

"PK itu ditolak karena, satu, berarti putusannya sudah benar. Kedua, tindak pidana jadi terbukti. Ketiga yaitu alasan untuk mengajukan PK, itu sebenarnya bukan alasan untuk PK tapi hanya mengulang-ulang fakta yang sudah diputus pengadilan,” jelas Jubir MA Agung Abdullah kepada KBR, Jumat (5/7/2019).


Pedoman MA Mengadili Perkara Perempuan

Peraturan MA No. 3 Tahun 2017 sebenarnya sudah mengatur pedoman Hakim Agung dalam mengadili perempuan yang berperkara. Aturan itu di antaranya menegaskan:

    <li>Mahkamah Agung agar mempertimbangkan adanya <i>relasi kuasa</i> yang membuat perempuan tidak berdaya.</li>
    
    <li>Mempertimbangkan <i>analisis gender</i> <i>secara komprehensif</i>.</li>
    
    <li>Mempertimbangkan <i>konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender</i> yang telah diratifikasi.</li></ul>
    

    Namun, pelaksanaan pedoman itu tidak nampak dalam kasus Baiq Nuril.

    Seperti tercatat dalam Putusan MA No. 574 K/Pid.Sus/2018, di situ MA semata-mata hanya menggunakan pertimbangan terkait UU ITE, serta perlindungan data pribadi yang tak boleh disebar tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.


    Komnas Perempuan Kaji Langkah Pembelaan

    Terkait kasus ini, Komnas Perempuan menyatakan akan mengkaji langkah-langkah pembelaan untuk Baiq Nuril.

    "Kalau amnesti mungkin. Tapi kan itu untuk tindak pidana tertentu ya. Nah itu yang kita sedang timbang-timbang. Saya kira Komnas Perempuan akan mencoba untuk mengkaji langkah hukum atau langkah di luar hukum apa yang terbaik untuk menghindarkan Baiq Nuril terhadap kriminalisasi yang sedang dialaminya," ujar Sri kepada KBR, Jumat (5/7/2019).

    Komnas Perempuan juga menyatakan akan terus mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, agar hal serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.


    Editor: Rony Sitanggang

  • Baiq Nuril
  • Mahkamah Agung
  • pelecehan seksual
  • UU ITE
  • gender

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!