NASIONAL

Menyaksikan Mei 1998 di Kota Tangerang

"Pusat pertokoan porak poranda, kerusuhan mengincar kawasan Pecinan."

Pebriansyah Ariefana

Menyaksikan Mei 1998 di Kota Tangerang
Kerusuhan Mei, Mei 1998, Tragedi Mei, Tangerang

KBR, Tangerang – Kota Tangerang menjadi salah satu daerah yang terparah menjadi sasaran aksi rusuh, selain Jakarta dan Solo yang juga porak poranda. Di Tangerang, sebagian besar toko besar habis dibakar dan dijarah massa yang beringas. 


Sejumlah kawasan yang habis dijarah dan dibakar saat itu di antaranya adalah Lippo Supermall Karawaci, Mall Diamond di Jalan MH Thamrin, pasar-pasar di pusat kota, Perniagaan Cimone, bahkan di kawasan utara dan selatan Tangerang. 


Catatan Komnas Perempuan salah satunya menyebutkan kalau ada ‘komandan’ yang memimpin  perusakan, penjarahan dan pembakaran. Misalnya di kasus pembakaran dan penjarahan Cipulir Plaza, Tangerang, puluhan pemuda dan remaja diturunkan dari satu truk militer berwarna hijau. Saat itu kerusuhan merata dan mengincar kawasan Pecinan. 


Jalan Kisamaun adalah akses utama tank dan mobil tentara yang membawa pasukan pengamanan dan logistik ke pusat kota. Saat itu Abu Salam alias Abuy melihat jelas truk tersebut membawa mayat-mayat dari Lippo Supermall Karawaci yang terbakar. 


"Cuma Jalan Kisamaun ini yang lancar. Semua akses jalan di Tangerang penuh rusuh. Ada mobil dibakar habis," cerita Abuy.


‘Milik Pribumi’ 


Tulisan ‘Milik Pribumi’ mulai banyak nampak di tembok toko-toko di kawasan perniagaan di Kota Tangerang mulai muncul pada 13 Mei 1998, sehari setelah kerusuhan dan penjarahan di sana. Tulisan itu menandakan jika toko tersebut bukan milik Tionghoa, seolah pesan terselubung supaya toko itu tak diserbu. 


Maria Lin, salah seorang pemilik toko sembako di Pasar Lama sempat membuat tulisan itu di pintu besi tokonya. Dia ketakutan tokonya dijarah massa.


"Saya nggak bisa apa-apa waktu itu. Cuma diam aja di rumah sama anak-anak. Di TV ada kabar kalau Cina mau dibunuh, hartanya diambil. Waktu itu mau lari, bingung. Keluarga saya di Bangka (Bangka Belitung, red)," cerita Lin ditemui di Pasar Lama.


Lin sudah puluhan tahun tinggal di Tangerang. Bibir nenek dengan 4 anak dan 4 cucu itu gemetar.  Mata perempuan 65 tahun itu menatap kosong ke bawah saat mengingat kerusuhan berbau SARA enam belas tahun silam. Lin mempunyai tiga toko sembako, dua toko di antaranya habis dijarah di Pasar Anyar dan Cimone Tangerang.


Selama sebulan dia tidak berani keluar rumah, pintunya terkunci. Lin mengandalkan makanan di tokonya untuk dikonsumsi suami dan dua anaknya saat itu.


"Habis semua, habis, habis, habis. Toko ini saja yang bertahan. Nggak ada lagi. Untung di sini nggak ada penjarahan. Pribumi di sini jaga," jelas Lin.


Hal yang sama dialami Budiman Lian, pria tua keturunan Tionghoa dan Jawa Timur. Lian saat itu berusia 40 tahun. Rumahnya dibakar di kawasan Pasar Anyar.


"Saya lari sama istri dan anak. Anak masih kecil banget, 4 tahun kayaknya," cerita singkat Lian.


Akhirnya dia berlindung di kawasan Pasar Lama yang saat itu dijaga oleh warga Kampung Perintis, seperti Abu Salam dan teman-temannya. Pasca kerusuhan Lian mulai membangun usaha lagi dengan berjualan kebutuhan sembayang orang Tionghoa.


Saling membutuhkan


Enam belas tahun kemudian, kawasan Pecinan Pasar Lama masih tegak berdiri. Hanya kawasan inilah yang aman dari penjarahan di Kota Tangerang. 


Pasar Lama masih terus ramai, dari pagi sampai malam. Sederet makanan khas Tangerang dan dari berbagai penjuru Nusantara ada di sana. Tak ada lagi warga pribumi atau keturunan, karena semua adalah saudara setanah air di sini. 


Abuy sudah tak lagi jadi jadi pegawai honorer pemerintahan. Kini dia menyambung hidup sebagai tukang parkir. Area kerjanya adalah di depan Toko Komputer Pinguin. Kata dia, Jalan Kisamaun tak banyak berubah dalam 16 tahun terakhir. 


“Nggak ada yang berubah. Kaca toko ini aja dari tahun 1998 yah begitu-begitu aja. Nggak ada yang pecah kacanya,” jelas dia.


Kawasan itu menjadi sumber penghidupan bagi warganya secara turun temurun. Mulai dari yang punya toko, sampai ‘sarana pendukung’-nya seperti jasa penjagaan parkir, lapak makanan jalanan, mulai dari menjadi pegawai di toko sampai tukang parkir seperti Abuy. 


Abuy berdiri sejenak, membantu memarkirkan mobil di kawasan Jalan Kisamaun ini. Lantas duduk lagi dan meneruskan merokok sembari bercerita. 


"Alasan gue dan anak-anak jagain toko-toko ini karena bukan apa-apa,” kata Abuy. “Ini kan sumber kehidupan kita. Kalau nggak ada toko ini, bagaimana?” 


“Kita juga mendapat penghasilan dari keberadaan toko ini. Kita saling membutuhkan lah. Lagian kalau dihancurkan, apa untungnya yah buat warga sini? Nggak ada kan?” 


  • Kerusuhan Mei
  • Mei 1998
  • Tragedi Mei
  • Tangerang

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!