BERITA

Kritik untuk Polisi Virtual dari SAFEnet, DPR, sampai Kompolnas

"Polisi Virtual bisa memberi teguran jika ada masyarakat melaporkan sebuah akun WhatsApp terkait kontennya."

Kritik untuk Polisi Virtual dari SAFEnet, DPR, sampai Kompolnas
Ilustrasi Kebebasan Berekspresi

KBR, Jakarta- Mabes Polri bakal mengusut dugaan pidana ujaran kebencian di grup WhatsApp, meski itu merupakan ranah pribadi.

Juru bicara Mabes Polri Ahmad Ramadhan menegaskan polisi akan bertindak jika ada masyarakat atau anggota grup tersebut melapor.

"Polri akan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terkait dengan konten WA yang berisi dugaan pidana apabila Polri menerima laporan dari masyarakat dalam bentuk laporan screenshot atau tangkapan layar dari salah satu anggota grup dari akun yang melaporkan akun yang mem-posting ujaran kebencian SARA," kata Ramadhan di Mabes Polri, Rabu (17/3/2021).

Juru bicara Mabes Polri Ahmad Ramadhan menambahkan laporan itu nantinya akan ditindaklanjuti kepolisian setempat atau melalui tim Polisi Virtual. Namun ia mengklaim, Polisi Virtual tidak akan secara aktif memantau konten di WhatsApp.

Kata dia, grup WhatsApp bukan tujuan dari program Polisi Virtual. Namun, Polisi Virtual bisa saja memberi teguran jika ada masyarakat yang melaporkan sebuah akun WhatsApp terkait kontennya.

"Virtual police tidak masuk ke ranah tersebut. Virtual police hanya melakukan teguran setelah menerima laporan pengaduan dari masyarakat," tambahnya.

"Sehingga jangan sampai ada anggapan bahwa WA Group merupakan tujuan dari patroli siber atau Virtual Police," lanjutnya.

Polisi Virtual atau Virtual Police merupakan program Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Polri mengklaim program ini dibentuk untuk memberikan edukasi dan mencegah masyarakat supaya tidak terjerat pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

DPR Minta Polri Berhati-Hati

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Adies Kadir meminta Polri berhati-hati dalam mengawasi ekspresi masyarakat di dunia maya. Menurutnya, implementasi kerja Polisi Virtual memerlukan pengkajian dan pencermatan mendalam.

"Jangan sampai dengan adanya Polisi Virtual, memakai, menganut UU ITE yang masih lama yang kemarin. Nanti dikhawatirkan akan membuat masyarakat ini malah gelisah. Tidak bisa mengekspresikan keinginan-keinginan dari masyarakat. Jadi memang harus dipilah-pilah dengan baik, mana yang berita hoaks, mana berita yang menghujat, mana yang mengkritik, mana yang masuk ranah pidana, mana yang tidak. Nah, ini lah yang memang harus menjadi perhatian pihak kepolisian, agar supaya memakai asas prudent lebih hati-hati. Dan sebaiknya mungkin memang segera ada revisi tentang UU ITE tersebut," kata Adies dilansir Warta Parlemen (16/03/21).

Wakil Ketua Komisi Hukum (III) DPR, Adies Kadir berharap Polisi Virtual bijak dan memahami betul perbedaan ungkapan ekspresi masyarakat, baik yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, atau yang bersifat kritik.

Perlu Pengawasan dan Kontrol Ketat

Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menginginkan ada pengawasan dan kontrol ketat terhadap kegiatan Polisi Virtual.

Anggota Kompolnas, Poengky Indarti mengatakan hal itu dilakukan agar Polisi Virtual tidak beraksi berlebihan ketika berpatroli di media sosial.

“Tidak semua masyarakat misalnya sadar atau paham dengan apa yang dimaksud dengan kebebasan Berekspresi kebebasan berpendapat kadang kadang ketika menerima informasi informasi dari gawai gadget itu dianggap sebagai kebenaran dan kemudian langsung di-posting di-forward ke lain lain. Padahal itu ketika seharusnya dicek memang misalkan berita hoax untuk mencegah seperti itu dan jangan sampai terjadi konflik sosial karena berita berita yang keliru tadi di-posting maka perlu ada pendidikan melalui Polisi Virtual. Nah, tapi memang harus hati hati ini Polisi Virtual, jangan misalnya Polisi Virtual ini kemudian menjadi over reaktif gitu ya,” ujar Poengky saat dihubungi KBR, Rabu (17/03/2021).

Kritik Penangkapan

Aksi Polisi Virtual menangkap sejumlah orang terkait unggahan di media sosial menuai kritik dari lembaga Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet.

Menurut Anggota Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Nenden Sekar Arum, komentar yang dikeluarkan warga tergolong komentar sinis, bukan hoaks ataupun mengandung ujaran kebencian.

"Kalau aku baca dari kasusnya dan aku baca komentar dari orang yang dilaporkan oleh Polisi Virtual itu. Itu kan sebetulnya, kalimatnya.. Maksudnya kalau kita lihat begitu ya. Kan ujaran kebencian itu sangat karet dan tidak ada batasannya seperti apa. Sedangkan kalau dilihat dari komentar yang disampaikan warga tersebut, saya sendiri tidak melihat itu sebagai ujaran kebencian. Melainkan itu cuma komentar atau bisa dibilang ekspresi si warga itu," ujarnya.

Tiga Orang Berurusan dengan Polisi Virtual

Sebelumnya, tiga orang pemilik akun media sosial harus berurusan dengan Polisi Virtual Mabes Polri, lantaran mengunggah komentar yang diduga melanggar UU ITE di media sosial.

Kasus terbaru dialami seorang mahasiswa perguruan tinggi di Yogyakarta karena unggahannya diduga menyinggung Wali Kota Solo Gibran Rakabuming. Tiga orang itu harus meminta maaf dan menghapus komentarnya di media sosial.

Polisi Virtual juga memperingatkan lebih dari 20 pemilik akun, atas unggahannya di media sosial.

Selain itu, ada lebih dari 120 konten yang dianggap perlu mendapat peringatan karena dinilai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Polisi Virtual dibentuk dan beroperasi sejak Februari lalu.

Editor: Sindu Dharmawan

  • Virtual Police
  • Polisi Virtual
  • Safenet
  • Polri
  • Hoaks
  • UU ITE
  • WhatsApp
  • Siber Polri
  • Kompolnas
  • Media Sosial

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!