KABAR BISNIS

SP Jabodetabek Desak Pemerintah Hentikan Swastanisasi Air Jakarta

"Solidaritas Perempuan Jabotabek Mendesak Pemerintah Berhenti Mempermainkan Hukum dan Membodohi Warga Jakarta"

Paul M Nuh

SP Jabodetabek Desak Pemerintah Hentikan Swastanisasi Air Jakarta

Memperingati Hari Air Sedunia, Solidaritas Perempuan (SP) Jabotabek kembali mengingatkan Pemerintah untuk segera hentikan swastanisasi air Jakarta. “Sudah hampir 23 tahun air Jakarta diswastanisasi, hingga kini belum juga ada perubahan. Sudah banyak perjuangan yang kami lakukan, baik melalui proses dialog maupun proses hukum. Bahkan 5 tahun yang lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan kita dan memerintahkan pengembalian air Jakarta ke publik,  kemudian dibatalkan atas dasar yang tidak jelas. Kami sepertinya dibodohi dengan proses hukum ini.” Ungkap Ibu Elasari, Demisioner Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Jabotabek yang selama ini terlibat dalam perjuangan menghentikan swastanisasi air Jakarta Bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melalui gugatan warga negara.

Swastanisasi air di Jakarta telah terjadi sejak adanya perjanjian kerjasama antara PDAM dengan PT. Palyja dan PT. Aetra dengan Pemprov Jakarta pada tahun 1997 sampai sekarang. Sejak itu, masyarakat mengalami berbagai permasalahan terkait air bersih, antara lain, kualitas yang buruk, seperti; air berbau, berwarna kuning, debit air yang keluar sangat kecil, dan lain-lain. Sementara itu tarif air kian mahal.

Pada tahun 2012, Solidaritas Perempuan Jabotabek Bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Koalisi Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), mengajukan Gugatan Warga Negara (GWN) untuk menghentikan swastanisasi air Jakarta dengan membatalkan kontrak kerja sama antara PAM Jaya dengan PT Aetra dan PT Palyja dan mengembalikan pengelolaan air ke publik. Setelah 3 tahun berjuang akhirnya pada Februari 2015 KMMSAJ menang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putusan dari  Pengadilan Negeri adalah mengembalikan pengelolaan air di DKI dan melaksanakan pengelolaan air minum di DKI sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi atas air sebagaimana tertuang dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Namun tahun 2016, putusan tersebut dibatalkan pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan alasan yang tidak signifikan, seperti GWN seharusnya tidak dapat diajukan kepada pihak swasta, sementara itu dalam gugatan ini memasukan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta sebagai Turut Tergugat.

Kemudian di tahun 2018, kembali menang pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan Tinggi tersebut dan menguatkan kembali Putusan Pengadilan Negeri. Belakangan putusan kasasi tersebut dimintakan Peninjauan Kembali (PK) oleh Kementerian Keuangan yang merupakan salah satu tergugat dan hasilnya, PK pun dikabulkan dengan alasan penggugat tak memenuhi syarat GWN. Padahal alasan ini sudah pernah diajukan pada tingkat banding dan tidak ada bukti baru yang berhasil diajukan oleh Kementerian Keuangan.

“Tuntutan kita di KMMSAJ untuk menghentikan swastanisasi air sejalan dengan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Pengelolaan Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004 atas dasar bertentangan dengan konstitusi negara karena membuka ruang privatisasi air. Persoalan pengelolaan air di Jakarta merupakan satu cerminan dari kegagalan pengelolaan barang publik oleh swasta. Kami menggugat semua pihak yang terlibat mulai dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah. Perlawanan kami terhadap swastanisasi air merupakan bentuk perjuangan hak asasi rakyat atas air, sebagai kebutuhan dasar yang seharusnya dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Apalagi karena perempuan yang paling terdampak akibat pengelolaan air yang buruk oleh swasta, terutama perempuan-perempuan miskin.” Tegas Dinda Nuurannisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menyikapi persoalan air di Jakarta.

Dampak yang lebih berat dirasakan oleh perempuan karena peran gendernya yang lebih banyak bersinggungan dengan air, seperti memasak, memandikan anak, membersihkan peralatan dapur. Jadi apabila perempuan sulit mengakses air bersih, maka akan berdampak kepada meningkatnya beban perempuan, ditambah lagi buruknya kualitas air juga berdampak kepada kesehatan reproduksi perempuan dan anak.

Hingga kini, warga miskin Jakarta, terutama perempuan masih mengalami permasalahan yang sama dan masih kesulitan untuk mengakses air bersih. “Musim penghujan seperti ini, kami masih kesulitan untuk akses air, sekalipun keluar air itu hitam dan bau seperti air got, dan air keluar di jam-jam tertentu. Dalam situasi menyebarnya virus Corona di Jakarta, seluruh masyarakat dihimbau untuk rajin cuci tangan, dan menjaga kebersihan namun bagi warga Rawa Badak, bagaimana mau menjaga jaga kebersihan, bila airnya kotor, bahkan sering mati.” Ungkap Hilda, Warga RW 09 Rawa Badak Jakarta Utara. Sedangkan Mira, yang juga warga Rawa Badak mengeluhkan penyegelan meteran sepihak yang dilakukan oleh petugas, “Saya bayar air setiap bulan di tanggal 5, tapi tiba-tiba meteran saya di segel dan kami pada saat itu lagi pada ke Bogor pas pulang mau nyalain air ternyata di segel tanpa keterangan yang jelas. Padahal airnya juga jarang keluar.”

“Di Hari Air ini, kembali kami menuntut Presiden Jokowi untuk menepati janjinya sejak masih menjabat sebagai Gubernur DKI dan melakukan tindakan Bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang secara nyata memutuskan kontrak pengelolaan air dengan pihak swasta dan mengembalikan pengelolaan air ke publik atas dasar konstitusi. Kami tidak akan pernah berhenti berjuang sampai hak atas air kami dipenuhi dan swasta dikeluarkan dari skema pengelolaan air Jakarta.” Tegas Elasari.

  • solidaritas perempuan
  • privatisasi air

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!