HEADLINE

Pemerintah Didesak Naikkan Anggaran Kejaksaan

"Target penyelesaian perkara kejaksaan menjadi 131 ribu, sementara anggaran hanya untuk 39 ribu perkara."

Ade Irmansyah

Pemerintah Didesak Naikkan Anggaran Kejaksaan
Dari kiri ke kanan, Julius Ibrani (koordinator YLBHI), Dio Ashar Wicaksono (Peneliti MaPPI FHUI), Narendra Jatna (Kajari Jakarta Timur), Yunus Husein (Mantan Kepala PPATK). Foto Ade Irmansyah

KBR, Jakarta - Koalisi pemantau peradilan mendesak pemerintah menaikkan kembali anggaran kejaksaan untuk penanganan perkara pidana umum tahun 2016. Peneliti Masyarakat Peduli Peradilan Indonesia (Mappi), Dio Ashar Wicaksana beralasan, pemangkasan anggaran perkara kejaksaan malah akan memperburuk kualitas penegakan hukum di Indonesia.

Kata dia, target kejaksaan dalam penyelesaian perkara di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2016 meningkat menjadi 131 ribu perkara. Namun anggaran yang dimiliki kejaksaan saat ini diperkirakan hanya bisa menyelesaikan sekitar 39.514 perkara.


"Kita melihat bahwa sistem penganggaran di Kejaksaan ini sangat bermasalah bahkan ini sudah berlangsung cukup lama dan ini diperparah dengan adanya sistem pemangkasan anggaran. Kita tahu bahwa jaksa itu adalah pengendali perkara di sistem acara pidana kita. Jaksa terlibat dari sistem penyidikan hingga tahap eksekusi," Ujarnya kepada wartawan di Kantor YLBHI, Jakarta.


Dio menuturkan, berdasarkan temuan Mappi di Kejari Maluku, dana untuk pembiayaan perkara setahun sudah habis pada Februari lalu karena pemangkasan anggaran. Menurutnya, kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu praktik KKN karena masih banyak perkara yang mesti ditangani kejaksaan, terutama di daerah.


"Namun ketikan anggarannya tidak diadakan sesuai dengan proporsionalnya dan tidak dianggarkan sesuai dengan prakteknya maka itu akhirnya akan ada permasalahan penegakan hukum yang akhirnya menghambat penegakan hukum, mengambat keadilan untuk para pencari keadilan dan ini juga bisa menjadi potensi adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa karena keterbatasan anggaran ini dan sistem penganggaran yang tidak baik," Ujarnya.


Lebih lanjut, Dio menambahkan, pemerintah semestinya membuat klasifikasi anggaran berdasarkan perkara. Semisal anggaran sebesar Rp 10 juta untuk perkara sedang dan Rp 25 juta untuk perkara berat dari yang sebelumnya disamakan sebesar Rp 3,3 juta.


"Akan berbeda dana yang dikeluarkan untuk menyelesaikan perkara kasus pencopetan biasa dengan kasus illegal logging misalnya. Namun kedua kasus ini masuk dalam kategori perkara pidana umum yang anggarannya hanya sebesar 3.3 juta saja," ujarnya.


Selain itu, kata Dio, pemerintah perlu membangun sistem pencatatan laporan penanganan perkara di tiap wilayah kejaksaan negeri. Sistem tersebut mencatat jumlah perkara, jenis perkara, biaya yang dikeluarkan, serta lamanya proses penanganan perkara. Pemerintah juga dianggap perlu mengubah indikator keberhasilan penyelesaian perkara berdasarkan jumlah perkara yang ditangani.


"Ada kesalahan paradigma saat ini ketika penegak hukum dianggap berhasil menjalankan tugas ketika banyaknya kasus yang ditangani. Seharusnya negara ini aman ketika justru tidak ada tindak kejahatan apapun," ujarnya.


Yang terakhir kata dia, pemerintah perlu membuat pencairan anggaran penanganan perkara dengan sistem actual cost atau reimbursable seperti sistem di KPK. Sehingga anggaran yang tersisa tidak perlu dipaksakan laporan penggunaannya dan dapat dialokasikan untuk penanganan perkara yang butuh biaya ekstra.



Editor : Sasmito Madrim 

  • kejaksaan
  • MAPPI
  • anggaran kejaksaan
  • RPJMN
  • YLBHI

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!