RAGAM

Speak the Unspoken: Kekerasan Seksual Terjadi di Pesantren, Kok Bisa?

"Pondok pesantren memegang dua tugas penting yaitu sebagai insitusi pendidikan dan institusi agama, di dalamnya terdapat praktik transfer pengetahuan."

Speak the Unspoken: Kekerasan Seksual Terjadi di Pesantren, Kok Bisa?

KBR, Jakarta - Salah satu berita yang cukup menghebohkan media sosial di tahun 2021 adalah maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren. Menurut data Komnas Perempuan, selama tahun 2015-2020, kasus kekerasan seksual di Pondok pesantren menempati posisi tertinggi kedua setelah perguruan tinggi.

Viralnya kasus kekerasan seksual terhadap santriwati di salah satu pesantren di wilayah Jawa yang sedang menjadi sorotan saat ini hanyalah salah satu dari sekian kasus kekerasan seksual yang mengantri untuk direspon dan dikawal.

Pondok pesantren memegang dua tugas penting yaitu sebagai insitusi pendidikan dan institusi agama, di dalamnya terdapat praktik transfer pengetahuan yang saat ini sudah mengalami modernisasi pengajaran Pendidikan Islam.

Walaupun masih banyak pondok pesantren yang mengemban amanah mulia tersebut, namun dengan cukup banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pesantren yang dilakukan oleh pengajar terhadap siswanya, telah mencemari nama baik instansi sosial ini.

Menurut Kyai Marzuki WahidAnggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab utama terjadinya kekerasan seksual di pesantren. Pertama, tentunya kekerasan seksual bukan ajaran yang diberikan dari pesantren kepada santrinya karena di pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan seksual. Selain itu, belum ada regulasi yang mengikat masyarakat pesantren dan standard operating procedur (SOP)/peraturan yang tegas di seluruh pesantren yang dapat mencegah serta menangani segala bentuk kekerasan seksual di pesantren.

Selanjutnya, kurangnya tingkat kesadaran masyarakat pesantren (kiai, pengasuh, ustadz, dan santri) serta minimnya edukasi mengenai kekerasan seksual. Hal tersebut membuat masyarakat pesantren tidak mengetahui bahwa terdapat hal-hal yang merupakan kekerasan seksual namun diyakini tidak termasuk kekerasan seksual.

Ia juga menambahkan terdapat relasi yang timpang. Relasi yang timpang antara pengasih dengan santri, santri senior dengan santri junior, laki-laki dengan perempuan, hal tersebut membentuk ekosistem kekerasan seksual yang terjadi di pesantren. Dan kurangnya sikap tegas akademis pesantren yang kurang memperhatikan terkait jenis-jenis kekerasan seksual.

Kyai Marzuki menjelaskan beberapa cara untuk menangani kekerasan seksual. Yang pertama, jika kekerasan seksual belum terjadi maka bisa melakukan strategi serta upaya pencegahan dengan cara edukasi, pelatihan, dan pengajaran kepada seluruh masyarakat pesantren.

Yang kedua, jika kekesaran seksual sudah terjadi maka perlu ditangani dengan serius. Dalam hal ini, pelaku kekerasan seksual dapat diberikan sanksi atau hukuman yang sesuai agar membuat jera dan tidak melakukan pada korban lainnya. Untuk korban kekerasan seksual dapat dibantu dengan rehabilitasi serta dipulihkan sepenuhnya baik secara status, fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Tertarik mengetahui lebih jauh soal kekerasan seksual terjadi di pesantren, kok bisa? Silahkan Anda simak kelanjutan obrolannya di KBR Prime, Spotify dan Youtube Berita KBR.

Baca juga: Speak the Unspoken: Media dalam Pencegahan Kekerasan Seksual - kbr.id

  • nativead
  • Kekerasan Seksual
  • gender
  • pesantren

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!