BERITA

WHO: Sunat Perempuan Merusak Kesehatan Fisik dan Mental

""Pengeluaran kesehatan global meningkat karena dampak tragisnya (sunat perempuan). Pemerintah punya tanggung jawab moral untuk mengakhiri praktik berbahaya ini," kata WHO."

WHO: Sunat Perempuan Merusak Kesehatan Fisik dan Mental
Ilustrasi: Sunat perempuan bisa menyebabkan depresi, stres pasca-trauma, hingga gangguan psikosomatis. (Foto: Pixabay)

KBR, Jakarta- Organisasi kesehatan dunia WHO menegaskan bahwa sunat perempuan adalah praktik yang sangat merugikan, baik bagi kesehatan maupun bagi ekonomi.

Hal itu disampaikan WHO dalam momen International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation yang diperingati warga dunia setiap 6 Februari.

"FGM (female genital mutilation/sunat perempuan) bukan hanya pelecehan terhadap hak asasi manusia yang secara signifikan merusak kesehatan fisik dan mental jutaan perempuan, itu juga menguras sumber daya ekonomi suatu negara," kata Dr Ian Askew, Direktur Departemen Riset Kesehatan Seksual dan Reproduksi WHO, dalam siaran persnya, Kamis (6/2/2020).


Bahaya Sunat Perempuan

Menurut WHO, sunat perempuan sama sekali tidak punya manfaat medis. Praktik itu justru membawa banyak dampak buruk bagi perempuan.

WHO memaparkan, untuk jangka pendek praktik sunat perempuan bisa menyebabkan:

    <li>Kesakitan ekstrem pada organ vital</li>
    
    <li>Perdarahan parah</li>
    
    <li>Pembengkakan jaringan genital</li>
    
    <li>Infeksi</li>
    
    <li>Masalah pada saluran kencing</li>
    
    <li>Trauma</li>
    
    <li>Kematian</li></ul>
    

    Sedangkan untuk jangka panjang, sunat perempuan bisa menimbulkan masalah menstruasi, gangguan fungsi seksual, bahkan gangguan mental.

    "Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang telah menjalani FGM (sunat perempuan) lebih berpotensi mengalami gangguan stres pasca-trauma, gangguan kecemasan, depresi, dan keluhan somatis, seperti mengalami rasa sakit tanpa ada penyebabnya," jelas WHO di situs resminya.

    Menurut perhitungan WHO, kini negara-negara dunia mengeluarkan total anggaran US$1,4 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun untuk mengobati masalah kesehatan akibat sunat perempuan.

    "Pengeluaran kesehatan global meningkat karena dampak tragisnya (sunat perempuan). Pemerintah punya tanggung jawab moral untuk mengakhiri praktik berbahaya ini," kata WHO dalam siaran persnya, Kamis (6/2/2020).


    Sunat Perempuan Masih Marak di Indonesia

    Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2013, ada sekitar 51 persen anak perempuan Indonesia yang pernah disunat.

    Jumlah 'korban' itu juga diperkirakan terus bertambah. Karena menurut penelitian lanjutan Komnas Perempuan, sampai 2018 praktik sunat masih terus dilakukan kepada bayi, balita, dan anak perempuan di berbagai daerah.

    "Pemerintah telah mengakui bahwa P2GP (Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan) sebagai sebuah kekerasan gender dan pelanggaran hak kesehatan reproduksi. Namun, upaya untuk menghentikan praktik tersebut terhambat oleh kebijakan yang tidak konsisten, dan terbatasnya program yang mendukung perubahan perilaku," tulis Komnas Perempuan dalam laporannya.

    Komnas Perempuan mendorong adanya riset soal prevalensi terkini sunat perempuan di Indonesia.

    Mereka pun mendorong pemerintah supaya menghentikan praktik sunat perempuan, baik lewat kerangka kebijakan maupun lewat kerja sama dengan tenaga medis, LSM, sekolah, dan organisasi agama.

    Editor: Sindu Dharmawan

  • sunat perempuan
  • hak kesehatan reproduksi
  • gender
  • kekerasan seksual

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!