KBR, Jakarta – Penyelenggaraan press conference oleh jaringan pengendalian tembakau dengan tema “PMK Cukai Hasil Tembakau 2023: Untung dan Rugi” pada Rabu, 21 Desember 2022. Press conference tersebut dihadiri Prof. Hasbullah Thabrany (Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat sekaligus Ketua Umum Komnas PT), Dr. Abdillah Ahsan (Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia), Risky Kusuma Hartono, PhD (Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia), dan Roosita Meilani Dewi (Kepala Pusat Studi Center of Human Development ITB AD) sebagai pembicara, dengan moderator Nina Samidi, Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau.
Prof. Hasbullah Thabrany membuka acara dengan membahas langkah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 yang menaikkan rata-rata cukai rokok sebesar 10% untuk tahun 2023 dan tahun 2024.
Menurutnya, kenaikan 10% tidak akan efektif untuk menurunkan konsumsi rokok karena keterjangkauan akan tetap tinggi sehingga prevalensi perokok, termasuk perokok anak akan tetap tinggi. Harapan besar dengan kenaikan cukai ke depannya agar masyarakat akan mengalihkan belanja rokoknya untuk belanja produktif, seperti makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan.
Selanjutnya, Dr. Abdillah Ahsan memaparkan mengenai rincian kenaikan cukai rokok 2023- 2024 dan pentingnya penegakan rokok ilegal. Menurutnya, kenaikan cukai dan harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara yang akan digunakan untuk meningkatkan penegakan hukum terkait pemberantasan rokok ilegal.
Menurut Dr. Abdillah Ahsan, terdapat hal baik karena harga rokok termurah meningkat paling tinggi, yaitu SKT 2 dan SKT 3 serta selisih harga termahal dan termurah berkurang sehingga mengurangi gap harga.
Sementara itu, Risky Kusuma Hartono mempersoalkan cukai rokok terkait penekanan konsumsi serta masalah stunting dan pengentasan kemiskinan. Menurutnya, kenaikan cukai rokok sejalan dengan target penurunan stunting dan pengentasan kemiskinan.
Menurutnya, agar efektif menurunkan perokok yang juga berfungsi sebagai langkah strategis penurunan prevalensi stunting serta pengentasan kemiskinan, Pemerintah hendaknya memiliki kebijakan formal rencana pengendalian tembakau sebagai faktor risiko pada program-program kebijakan prioritas Pemerintah.
Roosita Meilani Dewi memaparkan hasil penelitian mengenai model sistem dinamik konsumsi 1 batang rokok per hari pada masyarakat miskin, hampir miskin, dan menengah bawah. Hasil penelitian menunjukkan, jika konsumsi rokok tetap terjangkau pada masyarakat miskin, hampir miskin dan menengah bawah, maka dalam 20 tahun kelas masyarakat rersebut tidak akan lepas dari kemiskinannya.
Roosita menegaskan, “Cara untuk dapat memisahkan rokok dari rakyat miskin adalah dengan menaikkan harga rokok di pasaran agar tidak dapat dijangkau oleh kelas masyarakat miskin, hampir miskin, maupun menengah bawah.”
Editor: Paul M Nuh