OPINI ANDA

Menteri Rini, Twitter dan Etika Jurnalistik (1)

Menteri Rini, Twitter dan Etika Jurnalistik (1)

KBR, Jakarta - Menteri Badan Urusan Milik Negara Rini Soemarno pekan ini menjadi bulan-bulanan di media sosial utamanya di Twitter dan Facebook. Kicauan dan postingan bernada hujatan terus mengalir di linimasa hingga hari ini.

Para penghujat menganggap Menteri Rini bertindak kebablasan melarang penggunaan jilbab berukuran lebar atau jilbab syar'i bagi karyawan BUMN. Tak hanya jilbab yang dilarang, tapi juga ada larangan memelihara jenggot. Sementara tato justru dibolehkan asal tertutup. Begitu kata mereka.

Tidak lupa, para pengkritik melampirkan cuplikan gambar atau foto dokumen yang dianggap menjadi bukti adanya larangan itu. Dokumen itu disebut sebagai dokumen larangan mengenakan jilbab dan memelihara jenggot bagi karyawan BUMN.

Kritikan pun menghidupkan kembali atmosfer pemilihan presiden 2014 yang sudah usai. Presiden Joko Widodo kembali disangkut-pautkan karena punya menteri seperti itu.

Publik memang harus selalu mengawasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Media massa juga punya fungsi sebagai sarana kontrol sosial, seperti tercantum dalam Undang-undang Pers.

Pertanyaannya, benarkah ada kebijakan seperti itu? Darimana sumbernya?

Kebenaran Berita

Sebagai konsumen berita, publik tentu berhak mempertanyakan kebenaran suatu berita. Apalagi berita yang sangat menghebohkan. Aturan pertama dalam Kode Etik Jurnalistik AJI menyebutkan "jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar". Aturan kedua, "jurnalis selalu  menguji informasi dan hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya."

Pemeriksaan silang tidak hanya penting bagi jurnalis, melainkan juga prosedur yang mestinya dilakukan para konsumen berita.

Dengan memeriksa media banyak media, konsumen berita bisa mengambil kesimpulan apakah sebuah informasi layak dipercaya atau tidak. Kabar---atau gosip---larangan jilbab itu pertama menyebar lewat media online PKS Piyungan. Situs ini sebelumnya ramai menjadi perbincangan hangat di kalangan nettizen pada masa pemilu legislatif dan pemilu presiden lalu.

Pada Senin 15 Desember, PKS Piyungan melansir artikel dengan judul "Ini Bukti BUMN Tolak Merekrut Muslimah Berhijab Syar'i". Situs ini mendasarkan beritanya dari kicauan akun Twitter @estiningsihdwi. Tak ada sumber lain, apalagi konfirmasi langsung dengan Menteri Rini. Kicauan Twitter saja cukup, barangkali begitu saja.

Sang pemilik akun, Dwi Estiningsih adalah seorang psikolog, dosen di Yogyakarta. Ia pernah maju sebagai calon anggota legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Daerah Pemilihan I Yogyakarta, namun gagal.

Dwi Estiningsih mengunggah potongan foto dokumen, dan ia menuliskan kalimat: Kriteria rekruitmen sebuah #BUMN per 2014. Ia tidak menyebutkan BUMN mana.

Dokumen yang tidak komplit itu menyebutkan kira-kira demikian:


Performance: Penampilan secara umum:

- Perut tidak gendut
- Wajah dan kulit bersih (hitam/putih)
- Jerawat tidak menetap dan tidak banyak
- Kerapihan
- Sopan
- Tato tidak terlihat
- Tidak banyak luka
- Tidak bau badan
- Wajah bersahabat
- Kebersihan gigi & mulut (tidak bau saat bicara)
- Sikap tidak seperti wanita (laki-laki)
- Celana tidak menggantung (laki-laki)
- Tidak janggut (khusus laki-laki)
- Cowok rambut pendek
- Jilbab batas leher
- Kumis Rapi (laki-laki)
- Intonasi suara jelas
- Logat tidak masalah
- Tidak latah
- Kuku bersih, kutek tidak motif

Dan seterusnya. Tidak ada keterangan lain. Dokumen itulah yang kemudian dijadikan dasar adanya larangan menggunakan jilbab syar'i
bagi karyawan BUMN atau pada rekrutmen BUMN.

Apakah artikel di situs PKS Piyungan merupakan produk jurnalistik? Apakah PKS Piyungan merupakan media massa yang masuk dalam obyek hukum Undang-undang Pers? Tentu harus melihat apakah badan hukumnya, tercantum nama dan alamat penanggung jawab, dan terdata di Dewan Pers atau tidak. Tapi itu bahasan lain. Yang pasti, situs ini memang diragukan akurasinya.

Dua hari kemudian (Rabu 17 Desember 2014), media online Okezone.com dari MNC Group lantas mengangkat isu itu dengan artikel berita berjudul "Menteri BUMN Larang Pegawai Berjilbab Panjang." Artikel diunggah pukul 11.35 WIB dengan mendasarkan pada sumber yang sama yang digunakan situs PKS Piyungan.

Tak ada konfirmasi sebelum menaikkan berita, atau pada kesempatan pertama. Karena isunya hot, maka beberapa media lain ikut memblow-up isu itu dengan variasi judul yang tidak kalah gagah. Misalnya "Astaga, Menteri BUMN Larang Wanita Pakai Jilbab ke Kantor" (Nonstop Online), "Menteri BUMN Rini Larang Janggut dan Jilbab Panjang" (Lampung Online) dan sebagainya.

Media seperti Indopos Online juga ikut memberitakan isu itu dari sudut pandang DPR. Pada Kamis pukul 01.26 WIB (dinihari), Indopos memuat artikel berjudul "Larang Pegawai Berjilbab DPR Kecam Menteri BUMN". Isinya tanggapan dari Saleh Partaonan Daulay, Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi masalah agama. Juga tanpa konfirmasi.

Penutup berita di Indopos Online bahkan menulis informasi latar belakang yang seolah-olah sudah jelas kebenarannya: "Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melarang pemakaian jilbab panjang untuk para pegawai perempuannya. Namun ia memperbolehkan penggunaan tato asal tidak terlihat. Selain itu, Rini juga melarang pegawainya memeilihara janggut."

Hampir setengah hari kemudian, pada pukul 12.59 WIB, Indopos baru menurunkan berita klarifikasi berjudul "Bantah Menteri Rini Larang Pegawainya Berjilbab dan Berjenggot" melalui Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Imam A Putro.

Situs Republika Online juga sempat menuliskan berita dengan judul "MPR: Menteri BUMN Harus Klarifikasi Larangan Berjilbab Panjang". Meski kemudian berita itu dihapus dari laman Republika Online, namun data pencarian Google masih menyimpan sedikit arsip dimana media itu menampilkan narasumber Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Situs Okezone paling banyak running isu tersebut, hingga lima kali pada Rabu. Setelah lansiran artikel pertama dari sumber Twitter, Okezone menurunkan artikel kedua dan seterusnya, dari tanggapan pihak lain. Berturut-turut dari anggota Komisi VIII DPR Deding Ishak (pukul 13.10 WIB), Ketua MPR Zulkifli Hasan (pukul 14.31 WIB), dan dua artikel tanggapan dari Hidayat Nur Wahid (pukul 15.19 WIB dan 15.50 WIB). Baru pada pukul 17.33 WIB, Okezone memuat bantahan dari pihak Kementerian BUMN, melalui Juru bicara Kementerian PAN Faisal Halimi.

Hari Kamis, Okezone masih terus mengangkat isu itu, dengan melansir artikel berjudul "Menteri Rini Larang Jilbab Panjang, Ini Reaksi Menag".

Setelah Okezone memuat klarifikasi, giliran Sindonews (MNC Group) menaikkan artikel pada Rabu, 17 Desember pukul 18.18 WIB dengan judul "Menteri Rini Larang Pegawai BUMN Berjanggut & Berjilbab?". Isinya tanggapan dari anggota DPD Fahira Idris yang disampaikan melalui Twitter.


Baca: Menteri Rini, Twitter dan Etika Jurnalistik (2)

  • Menteri Rini
  • BUMN

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!