OPINI ANDA

Perokok Anak dan Warisan Jokowi

""Jangan merokok, tinggalin, merokok itu satu pun enggak ada manfaatnya," kata Pak Jokowi suatu hari di tahun 2013 di hadapan siswa SMAN 24 Senayan."

Nina Samidi

perokok anak
ILM Hidup Sehat Tanpa Rokok. (Sumber: Komnas PT)

Dalam bayangan saya, Pak Jokowi adalah orang yang baik. Penampilannya sederhana, tutur katanya halus dan sopan, dia juga tidak merokok, bahkan tidak minum kopi, apalagi minum-minuman keras. 

"Jangan merokok, tinggalin, merokok itu satu pun enggak ada manfaatnya," kata Pak Jokowi suatu hari di tahun 2013 di hadapan siswa SMAN 24 Senayan.

Dalam beberapa kesempatan, Pak Jokowi juga mengimbau agar rakyat yang menerima bansos tidak memakai dana yang diterima untuk beli pulsa ataupun rokok, lebih baik untuk beli makanan bergizi. Intinya, Pak Jokowi menghindari hal-hal yang mubazir atau merusak.

Tapi sayangnya, Pak Jokowi, tidak cukup hanya mengimbau.

Setiap tahun, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pengeluaran untuk beli rokok selalu menempati posisi kedua setelah beras. Bahkan di tahun 2020, belanja rokok pernah menempati posisi pertama mengalahkan belanja beras. Itu pun banyak penduduk nonperokok dimasukan dalam variable sehingga angka riil pengeluaran untuk rokok bisa lebih besar. BPS mencatat, dalam satu bulan, pengeluaran rokok masyarakat Indonesia setara dengan gabungan pengeluaran susu, telur ayam, dan sayur-sayuran.

Jadi, wajar kalau program pengentasan kemiskinan menjadi sangat sulit dan angka stunting lambat surut di Indonesia.

Anak Merokok

Perlu diwaspadai, tidak hanya keluarga miskin yang sulit mentas dari kemiskinan dan ancaman punya anak stunting, jumlah perokok anak kita juga terus merangkak naik. Pemerintahan di bawah Pak Jokowi gagal mencapai target penurunan dari 7,2 persen (2013) ke 5,4 persen (2019), malah naik jadi 9,1 persen (2018). 

Di bawah pemerintahan Pak Jokowi, rata-rata usia anak mulai merokok semakin muda dari 17 menjadi 16 tahun, dan perokok usia 10 – 14 tahun naik 240 persen menurut Riset Kesehatan Dasar.

Artinya, imbauan saja tidak cukup ketika akses yang mudah, harga yang murah, iklan yang lumrah, dan lingkungan yang ramah merokok. Mengimbau agar tidak merokok saja tidak cukup jika harga rokok di Indonesia masih sangat terjangkau oleh keluarga miskin, apalagi bebas dijual secara ketengan. 

Imbauan menjadi kontradiktif dengan keadaan yang terjadi di hadapan mereka. Disebutkan, anak-anak mendapat edukasi bahaya rokok di sekolah. Namun begitu keluar gerbang, serbuan iklan rokok langsung mengadang. Anak-anak mencerna dengan mudah, “Produk ini tidak berbahaya, iklannya saja ada di mana-mana.”

Keberpihakan

Selama Pak Jokowi dua periode menjabat menjadi Presiden, tidak sekalipun Pak Jokowi mengadakan dialog dengan pakar kesehatan untuk mengatasi masalah rokok. Sebaliknya, bolak-balik Pak Jokowi menemui industri rokok dengan alasan investasi. Masih segar di ingatan, di Istana Kepresidenan Pak Jokowi menerima raksasa industri rokok Phililp Morris yang ingin berinvestasi pada produk baru rokok elektronik yang sebenarnya adalah jebakan baru masalah kesehatan di Indonesia.

Pak Jokowi membuka pintu lebar-lebar pada investasi yang menghasilkan cash di muka, lupa bahwa investasi tersebut akan merugikan bangsa ini di masa depan. Rokok elektronik yang menyemburkan nikotin ke otak ini memberikan ancaman serius pada anak-anak kita. Karena tak satu pun regulasi yang mengaturnya, kecuali kebijakan cukai untuk mendapatkan revenue

Sebaliknya, Pak Jokowi dikabarkan sedang mendorong peta jalan yang akan menjadi karpet merah produk baru ini.

Baca juga:

Utang BUMN Harus Diperhatikan, Tapi Jangan Dipolitisasi

Ini Surat Terbuka Alto, WNI Pekerja Kemanusiaan di Mosul Irak untuk Pemerintah Jokowi

Mari kita ingat kembali, nikotin sangat merusak otak depan, terutama pada usia anak dan sama sekali tidak terbukti solusi berhenti merokok (konvensional). 

Dan mari kita ingat kembali, setiap tahun BPJS Kesehatan merugi belasan triliun akibat penyakit-penyakit katastropik yang faktor risiko utamanya merokok. Mari mengingat kembali, 200 triliun lebih kerugian rakyat yang membakar uangnya akibat kecanduan. Dan yang pasti, kerugian tak terhitung akibat kemunduran kecerdasan pada anak-anak Indonesia yang disebabkan oleh kerusakan otak depan dan risiko stunting.

Apakah warisan ini yang ingin Pak Jokowi tinggalkan sebagai Presiden yang ingin membawa perubahan?

Dalam bayangan saya, inginnya, Pak Jokowi akan lebih lembut hatinya untuk mengingat kembali, anak-anak Indonesia membutuhkan perlindungan yang lebih kuat, kebijakan yang serius untuk menjaga anak-anak kita dari produk yang mubazir dan merusak.

Selamat Hari Anak Nasional.

*) Penulis adalah Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau. Opini ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya. 

  • perokok anak
  • Presiden Jokowi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!