OPINI ANDA

Selamat, Mami Yuli!

Mami Yuli. (Foto: asiacalling)

Di Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta Selatan, seorang transgender meraih gelar master Fakultas Hukum Program Studi Hukum Pidana. Yulianus Rettoblaut atau Mami Yuli, namanya. Sejak 2,5 tahun lalu ia mengejar mimpinya. Dan hari ini ia merayakan prestasinya: lulusan terbaik dengan IPK 3,85.

Mami Yuli bukan transgender biasa. Ia punya segudang kegiatan sosial untuk memberdayakan kaumnya: waria. Mulai dari membangun Rumah Singgah Waria Indonesia  di Meruyung, Depok, serta pernah dua kali mencalonkan diri menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), meski gagal.

Apa yang dilakukan Mami Yuli tak lepas dari kehidupannya. Trangender berusia 54 tahun itu sudah menyadari dirinya berbeda sejak sekolah. Lantaran keluarganya di Papua tak bisa menerima, ia pun ke Jakarta. Sebab di ibukota, ia pikir ia bisa mengekspresikan dirinya. Tapi, di Jakarta, ia justru terlempar ke dunia prostitusi jalanan.

Sadar itu bukan jalannya, ia pun menempuh jalur pendidikan dan mendalami ilmu hukum. Hal itu dilakukan karena ia ingin membela waria yang selama ini tak dilihat hukum. Dalam catatan Komnas HAM, kekerasan terhadap waria menempati posisi ketiga setelah kasus atas nama agama dan etnis. Pedihnya, polisi enggan mengungkap pelaku kekerasan terhadap mereka.

Gender ketiga ini kerap dianggap badut. Di televisi, mereka menjadi penghibur semata. Di kehidupan sosial, mereka dijauhi. Di agama, mereka tak diakui.

Tapi Mami Yuli ingin menunjukkan hal lain. Bahwa ia pantas duduk sejajar dengan orang lain tanpa memandang sinis. Bahwa transgender punya kemampuan dan berprestasi. 

Selamat ya, Mami Yuli… telah menjadi transgender pertama yang meraih master di Nusantara.  

  • mami yuli
  • transgender
  • yulianus rettoblaut
  • rumah singgah waria
  • Toleransi
  • Jakarta
  • petatoleransi_06DKI Jakarta_biru

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!