OPINI ANDA

Salahkan (Semua) Pada Guru?

Salahkan (Semua) Pada Guru?

Ketika ada pemberitaan tentang tewasnya siswa SD di sekolah ketika jam pelajaran sekolah, betapa terkejutnya kita. Terlebih ketika kita tahu, bahwa siswa tersebut tewas setelah terlibat perkelahian dengan teman sekelasnya. Kita shock, lalu mengkhawatirkan anak-anak kita sendiri yang sedang menjalani tahap pendidikan anak usia dini maupun sekolah dasar. Kita menjadi lebih tegang.

Mayoritas pemikiran orang tua dalam menyikapi tewasnya siswa Anggrah oleh R. yang merupakan teman sekelasnya sendiri di SDN 07 Pagi Kebayoran Lama, Jakarta Selatan sudah menyalahkan pihak sekolah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Didasarkan pada lokasi kejadian yang berada di sekolah, maka tudingan pun diarahkan kepada seberapa jauh atau ketat pihak guru dalam menjaga keselamatan anak-anak didiknya. Opini publik juga diarahkan demikian, ketika Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa “Sekolah lalai dalam Tewasnya Anggrah,” (news.detik.com, 20 September 2015) maka lengkaplah sudah tudingan mengarah kepada sekolah, dan terutama: guru.


Hanya Sedikit Dukungan Untuk Guru

Tanpa bermaksud membela guru, penulis hanya meminta kita melihat persoalan tewasnya Anggrah oleh siswa R. dengan lebih jernih. Bahwa tugas melindungi anak bukan hanya tugas guru, tetapi juga tugas orang tua, lingkungan masyarakat, dan media. Penulis tidak sedang masuk dalam ranah penegakkan hukum karena hal itu telah menjadi tugas aparat penegak hukum, namun penulis ingin agar kita melihat peristiwa tewasnya Anggrah sebagai pembelajaran bagi semua stakeholder dunia pendidikan di Indonesia tentang peran dan tugas masing-masing dalam menyikapi peristiwa itu.

Publik sering lupa, bahwa di sekolah tidak pernah ada guru yang mengajari dan mendidik perilaku buruk. Pada tingkat PAUD dan SD nilai-nilai moral yang diajarkan mengarahkan pada dasar-dasar kerjasama dan menghormati orang lain. Sehingga dalam proses pembelajaran di kelas, guru-guru PAUD atau SD yang berkompeten dapat dipastikan mengarahkan anak didiknya menjadi siswa yang baik secara moral. Memang selalu ada anak yang bertengkar maupun berkelahi di sekolah, namun sejauh yang kita tahu pertengkaran dan perkelahian tersebut mampu disudahi oleh guru. Memang selalu ada kata-kata kotor yang didapat individu siswa dari pergaulan dengan temannya di sekolah, tapi bukankah lingkungan di rumah juga berperan dalam memperkenalkan kata-kata kotor tersebut?

Lalu, apakah wali kelas Anggrah tidak memperhatikan konflik antara Anggrah dan R? Hal itu dijawab oleh wali kelas Mujiyana dalam pemberitaan di media TV, bahwa Anggrah memiliki catatan “tempramental” dan sering “bertengkar" dengan R.  Dengan demikian, kita dapat melihat lebih dalam bahwa ada faktor emosi siswa dalam peristiwa itu. Faktor emosi yang juga dipengaruhi oleh peran orang tua dan media, terutama TV. Thomas Lickona (2012; 55) menjelaskan bahwa ketika orang tua tidak mengetahui kebutuhan dasar anak, baik yang bersifat fisik maupun emosional, maka sebenarnya anak belum siap untuk menjalankan perannya baik secara mental maupun moral di sekolah. Lebih jauh, ketika orang tua tidak membangun suatu hubungan baik dengan anak-anak mereka dan menggunakan hubungan tersebut untuk mengajarkan anak-anak tentang kebaikan maka sekolah pun harus memulai dari tahap yang sangat mendasar.

Selanjutnya, media TV bagi anak juga memegang peranan penting. TV bahkan sudah masuk mempengaruhi anak sebelum anak masuk sekolah, karena TV sudah menemani anak di rumah semenjak balita. Sebagaimana psikolog Kassandra Putranto selepas memberikan keterangan di Mapolres Jakarta Barat, pada 19 September 2015, “saat ini, dunia internet, game, sinetron, film isinya selalu menayangkan kekerasan, mengejek, memaki-maki, bully terus marah. Nah itu yang menjadi bagian perilaku dari anak indonesia, ini juga salah satu pemicu anak melakukan tindak kekerasan, bahwa perilaku kekerasan pada anak disebabkan oleh tontonan media TV.” (Metro.news.viva.co.id , 20 September 2015).

Meskipun sekolah mampu meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa, namun demikian hal itu belum cukup. Penanaman sikap berbudi pekerti yang dimiliki oleh anak-anak tersebut akan perlahan menghilang jika nilai-nilai yang telah diajarkan tersebut tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah.

Kembali Kepada Hal-hal Mendasar

Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah membuat dunia ini bagaikan “desa global”. Secara ekonomi, politik, maupun budaya, kehidupan umat manusia di dunia menjadi saling terpaut. Dalam kaitan dengan itu, pendidikan masa depan adalah pendidikan yang tanggap terhadap persaingan dan kerja sama global.

Tantangan masa depan yang terkait dengan perubahan sosial yang semakin cepat adalah tantangan yang menyangkut pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat. Perubahan sosial yang apabila tidak ditangani dengan tepat akan membawa krisis moral.

Sebagaimana guru kita, Ki Hajar Dewantara pernah menjelaskan, bahwa kegiatan pendidikan memiliki dua aspek pokok, yaitu 1) aspek pengajaran dan latihan sebagai sarana penyampaian pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat bagi pribadi anak didik maupun masyarakat, dan 2) aspek pembudayaan kepribadian melalui pendidikan budi pekerti (Sudarminta, ed. Atmadi dan Setiyaningsih, 2000; 15). Maka sudah menjadi kewajiban kita, para stakeholder dunia pendidikan untuk melakukan introspeksi. Untuk lebih lanjut menilai kembali apa yang sudah kita perbuat untuk kemajuan dan perbaikan pendidikan di Indonesia.

Perasaan getir yang kita rasakan sebagai orang tua maupun guru menyaksikan perkelahian berujung maut harus mampu membuat akal kita menjadi semakin tajam. Atau kita lebih memilih berpikir, “kejadiannya di sekolah, maka salah bapak-ibu guru!” seperti kita berpikir “kalau motor dan mobil tabrakan, apapun situasinya maka mobil yang salah!”  Semakin sehat akal pikiran kita, maka melihat tewasnya Anggrah dalam lapisan-lapisan kesadaran yang lebih dalam. Bahwa Anggrah adalah anak kita sendiri, bahwa kita telah kehilangan salah satu penerus bangsa. Dan bahwa kita sebagai masyarakat, serta bangsa Indonesia harus berusaha mencari solusi yang adil dan komprehensif.

Ketidakpedulian kita dapat menjadi penyebab terhadap korban seperti Anggrah di masa yang akan datang. Ketidakmampuan pihak sekolah dan orang tua untuk menjadi pendamping utama anak akan mendorong lahirnya generasi yang bingung. Ketidakmampuan media dan lingkungan masyarakat untuk menjadi sarana penanaman nilai-nilai positif akan mendorong lahirnya generasi yang --mohon maaf-- kriminal. 


22 September 2015


Ahmad Muttaqin, M.Pd

Praktisi Pendidikan di Cilegon-Banten

 

  • Anggrah
  • SDN 07 Pagi Kebayoran Lama
  • Jakarta Selatan
  • perkelahian
  • tewas
  • R
  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia
  • hak anak

Komentar (10)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Rafika Bunga Soleha8 years ago

    Suka banget pak bagus blognya, biar yang baca ngerti karna semua guru gabisa disalahin gitu aja. Dicari dulu sebab anak itu knp atau tanyakan pada temannya jangan langsung salahkan pihak sekolah karna mentang mentang disekolah. Sama seperti masalah sepele menjiwit murid guru sampai disidangi & dipenjara. Belum tau alasannya kenapa tapi langsung saja. Semoga blognya banyak yg liat pak biar pada ngerti dan jangan ada lagi yg langsung menyalahkan guru

  • Febi Melinia Putri8 years ago

    dari artikel di atas menurut saya sudah benar, kita tak boleh menyalahkan guru. tanpa guru kita buta huruf, buta warna dan lebih parahnya buta ilmu. seharusnya orang yang melapor memikir dengan baik2,karena guru di tuntut untuk mengajarkan muridnya sampai bisa tanpa perduli bayarannya berapa. salahkan lah anak dan pergaulannya. Ya anaknya terlalu di manja kali ya waktu bebayinya jadi ya gedenya gabisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ortu nya juga salah seharusnya yg di salahkan itu anaknya. Mungkin ortunya yang meleng. sekian dan terimakasih pak

  • nadya khaerunisa8 years ago

    Menurut saya seharusnya tidak semua guru disalahkan karena guru tidak tahu apa apa dengan terjadinya berkelahinya anggrah dan R, dan seharusnya orang tuanya juga salah seharusnya orang tuanya nanya dulu dengan teman sekelasnya kenapa mereka bisa berkelahi sampai anggrah meninggal, dan sekarangkan zamannya gadget dari tk pun anak sudah diberikan gadget dengan orang tuanya ,mungkin mereka berkelahi dengan adanya gadget atau mereka menonton youtube tentang perkelahian.

  • iin.ismaunna288 years ago

    Engga semuanya salah guru , karena pergaulan dan tontonan tontonan yang tidak layak yg seharusnya belum di ketahui oleh anak anak malah terekam jelas karena orang tua membiarkan anaknya menonton tontonan yg tidak sesuai dengan usianya yang kemudian di tirukan , maka orang tua harus lebih memperhatikan anaknya lagi

  • Mellinda8 years ago

    Dari yang saya baca ini tidak semuanya salah guru,guru hanya ingin menjadikan muridnya itu mengerti akan apa yang dia lakukan,blognya bagus banget pak

  • widya wulandari 8 years ago

    Semoga yang baca blog ini bisa mengambil hikmahnya, saya setuju bahwa semuanya tidak bisa menyalahkan guru ataupun sekolah karna mungkin adanya faktor kelalaian dari org tua atau pergaulan di lingkungan sekitarnya yg menyebabkan anak tsb melakukan hal yg tidak sepantasnya

  • Sucahyati8 years ago

    Menurut saya seharus nya orang tua engga semestinya menyalahkan pihak sekolah tentang kejadian si yang bernama aggrah

  • Egi Septiani Hidayah8 years ago

    Blognya bagus pak, bisa d jadiin pembelajaran sekaligus peringatan buat para orng tua supaya tidak selalu menyalahkan guru terhadap sikap pada anaknya. Seharusnya orang tua juga mengawasi anaknya karena kebanyakkan orang tua hanya mementingkan pekerjaan mereka dari pada perkembangan ananknya sendiri. Kebanyakkan orang tua juga bersikap masa bodoh dengan apa yang anaknya lihat di TV, di lingkungan sekitar padahal pada usia dini anak biasanya lebih cenderung untuk menirukan hal-hal yang baru saja ia lihat. Pada saat anaknya melakukan kesalahan mereka hanya bisa menyalahkan guru, sampai menuntut serta memenjarakan guru. Mereka tidak pernah berfikir bahwa guru hanya orang tua saat di sekolah, sedangkn mereka adalah orang tua kandung dari sang anak, mereka yang seharusnya lebih mengawasi sang anak, memperhatikan sikap prilaku dan perkataannya. Anak belajar di sekolah hanya sekitar 5 s/d 8 jam sehari dan sisanya anak belajar dirumah dengan pengawasan orang tua. Lebih banyak waktu dirumah dari pada di sekolah jadi jangan salahin guru salahin ajah diri sendiri yang tidak bisa mendidik anaknya.

  • cylvi claudia safitri8 years ago

    Blog nya sangat bagus pak, saya setuju sama tulisan bapak. agar semua orang tua sadar, jika tidak terima dengan perlakuan guru nya terhadap anak nya itu tidak harus memakai kekerasan, seharus nya para orang tua sadar kenapa anak mereka bisa menjadi nakal seperti itu , karna orang tua selalu menganggap jika anak nya sudah di ''SEKOLAHKAN'' maka mereka tidak perlu lagi untuk mengajarkan nya di rumah, padahal pendidikan yang paling utama yang harus di dapat itu adalah pendidikan dari oarang tua.Dan apalagi jaman sekarang ini sudah banyak sekali TV yang menayangkan film tentang kekerasan, kriminal, dan caci makian. mungkin itu salah satu pembentuk karakteristik seorang anak untuk menjadi lebih berani terhadap guru nya, dan seharus nya pihak keamanan harus mengambil langkah atau tidakan yang tegas supaya tidak terjadi lagi kekerasan terhadap guru, karna seorang guru memiliki tugas yang sangat penting dalam mencerdaskan generasi muda indonesia, seandai nya jika tidak ada didikan dan pembelajaran dari guru, maka akan jadi apa kami semua. Semoga kekerasan terhadap guru tidak terjadi lagi.

  • dinda sri rahayu8 years ago

    menurut saya sebaiknya anak sejak dini harus di ajarkan bagaimana cara dia agar dapat mengontrol emosinya agar tidak menyakiti seseorang, selain itu juga, selebihnya bukan salah sekolah maupun guru karna guru kan tidak mungkin memperhatikan murid murid yang begitu banyak