Puisi Bengis
Untuk Capres psikopat, kau harus tahu tegas itu beda dengan kejam. Jejak masa lalumu penuh kekejaman dan kebengisan
Kau merasa paling jujur? Saat kau sembunyikan kasus penculikan, pembakaran Jakarta, pembantaian Leste
Kau merasa paling jujur? Saat kau sembunyikan kasus penculikan, pembakaran Jakarta, pembantaian Leste
Kau merasa bisa beri kedamaian? Sementara pada siapapun kau marah-marah, melempar apa saja untuk lampiaskan dendam menahunmu.
Kau merasa paling antikorupsi? Sementara kau biarkan anak buahmu mainkan komisi proyek-proyek BURT DPR.
Kau merasa bisa mempersatukan bangsa ini? Tapi menafikan korban yang terdiskriminasi karena keyakinan, SARA. Belilah cermin!
Kau merasa paling demokratis? Sementara partaimu saja keputusan hanya di tanganmu. Lalu ketua umum hanya salon. Kau fasis!
Kau merasa paling berjuang bersama orang miskin? Tapi kau tak bisa hidup tanpa ajudan dan pembantu yang kau perlakukan bak jongos.
Kau merasa paling merakyat? Tapi hidupmu tak pernah bersama penderitaan rakyat. Saat penggusuran, intimidasi di mana kau?
Kau mengaku paling setia dan tak pernah khianat? Kenapa kau tak baca kembali butir-butir Pancasila, sudah berapa yang kau langgar.
Kau pun bicara tak pernah dari hati. Kau sudah silau dengan kekuasaan yang kau harapkan mengembalikan pamormu.
Maaf Tuan, harga diri dan luka karena bayonetmu dan puluhan es balok sebagai alas tidur kawan-kawanku jauh lebih mulia.
Maaf Tuan, orasimu yang berapi-api dan penuh kemarahan dan dendam itu tak akan menghapus ingatanku tentang kebengisanmu.
Maaf Tuan, orasimu yang berapi-api dan penuh kemarahan dan dendam itu tak akan menghapus ingatanku tentang kebengisanmu.
Maaf Tuan, ucapan-ucapan yang menista itu sudah cukup menggambarkan kami bagaimana jika kekuasaan dalam genggamanmu.
Maaf Tuan, ucapan-ucapan yang menista itu sudah cukup menggambarkan kami bagaimana jika kekuasaan dalam genggamanmu.
Tuan, datanglah dengan muka pulanglah dengan punggung. Itulah ksatria sejati!
Jakarta, 28 Maret 2014
Puisi Rasudi