OPINI

Drama

Setya Novanto tertatih memasuki ruang sidang Tipikor Jakarta

Sejumlah media menyebut persidangan dugaan korupsi KTP elektronik senilai triliunan rupiah itu sebagai drama. Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terpaksa berkali-kali menjeda sidang lantaran terdakwa, bekas Ketua DPR menyatakan dalam kondisi sakit.

Sedari Rabu pagi sidang dibuka sudah tampak gelagat akan ada “drama”. Berkali-kali saat hakim menanyakan identitasnya, Setnov hanya diam. Seakan tak mendengar pertanyaan menggunakan pengeras suara itu, dia menjawab sudah 5 hari dalam kondisi sakit diare. Alih-alih menjawab pertanyaan identitas, Setnov malah mengadu kalau dokter tak mau memberinya obat.

Hakim lantas menjeda sidang hingga berjam-jam untuk memberi waktu dokter memeriksa terdakwa. Hasilnya, Setnov dinyatakan sehat. Rabu petang jaksa akhirnya bisa membacakan dakwaan terhadap Setya Novanto. Dalam dakwaannya jaksa menyebut bekas Ketua DPR itu menerima uang sejumlah  USD 7,3 juta. Selain itu, juga menerima jam tangan mewah Richard Mille, yang bernilai USD 135 ribu. Pasal yang digunakan berisi ancaman penjara seumur hidup.

Dugaan “drama” atau sebagian menyebut siasat sakit itu bukan kali pertama. Beberapa kali Setnov beralasan sakit saat hendak diperiksa. Ajaibnya ketika hakim praperadilan memenangkan kasusnya Setnov mendadak sehat dan bisa beraktifitas di parlemen dan partai. Pun ketika menjadi tersangka kali kedua, manuver serupa juga digunakan.   

Apa yang dipertontonkan Setnov  tentu bukan sesuatu yang baik. Sebagai bekas ketua lembaga tinggi negara, sepatutnya ia memberi teladan baik. Meja hijau adalah tempat mencari keadilan, bukan panggung sandiwara. Bila merasa mendapat perlakukan tak adil, yang dilakukan semestinya adu argumen hukum dan bukti. Hingga  pengadil kelak bisa memberi putusan yang tepat. 

  • Setya Novanto
  • sidang e-KTP
  • Drama
  • korupsi e-ktp
  • DPR

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!