OPINI

Smart Pakem

Ilustrasi: Apps Smart Pakem
Ilustrasi: Apps Smart Pakem dan risiko tindak persekusi

Kejaksaan Jakarta  meluncurkan aplikasi yang diberi nama Smart Pakem pada Kamis pekan lalu. Kejaksaan menyebut dengan aplikasi itu warga bisa memanfaatkan untuk melaporkan organisasi kemasyarakatan atau aliran kepercayaan yang dinilai menyimpang. Kejaksaan Tinggi juga percaya dengan aplikasi itu bisa mencegah persekusi atau kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang itu.

Entah bagaimana logika  berpikir para penegak hukum  itu. Mari kita lihat ke dalam aplikasi yang bisa diunduh di Google Play store atau App Store. Bila anda ingin melaporkan, mesti mengisi dari mulai nomor KTP, tempat lahir, tanggal lahir, nomor telepon baru setelah itu  membuat laporan. Sungguh tidak praktis dan menyulitkan. Alih-alih memudahkan, aplikasi berbasis teknologi informasi ini malah bisa menyulitkan. Lalu bagaimana aplikasi ini bisa efektif mencegah kekerasan bagi liyan yang dianggap berbeda dari keyakinan mayoritas?

Aparat pemerintahan yang mestinya melindungi, melalui aplikasi yang tidak bijak itu malah memberi sarana untuk melakukan kekerasan pada kelompok minoritas. Di dalam aplikasi itu kita bisa melihat aliran keagamaan yang dilarang versi Kejati. Salah satu yang tertulis di sana, Ahmadiyah Jakarta Selatan. Aplikasi dan juga situsnya mencantumkan alamat juga ajarannya. Di sana tertulis, pengajian setiap malam Jumat dan pembagian sembako serta mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

Sungguh mengerikan bila aplikasi itu kemudian menyebar luas. Para pengikut Ahmadiyah dan lainnya akan segera kembali  menjadi target kekerasan. Itu sebab  Kejaksaan Tinggi mesti segera  menghapus aplikasi. Tujuannya tentu jangan sampai disalah gunakan dan kelompok minoritas menjadi korban kekerasan.  

 

  • smart pakem
  • persekusi
  • Ahmadiyah
  • Kejaksaan Tinggi

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!