Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (DP-MUI) meminta pemerintah tak menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mencantumkan kata Penghayat Kepercayaan. MK pada beberapa pekan lalu memutuskan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk tak lagi dikosongkan tapi ditulis Penghayat Kepercayaan. Aturan yang ada dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan itu digugat oleh para penghayat kepercayaan.
Ketua DP-MUI Din Syamsuddin menggunakan dasar Ketetapan MPR tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara(GBHN) sebagai dasar penolakannya. Dalam Tap yang berusia hampir 40 tahun itu ada tertulis bahwa penghayat kepercayaan bukanlah agama. Dalam Tap itu juga disebut pembinaan dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Itu sebab Din lantas meminta para penghayat aliran kebatinan itu kembali kepada Islam.
Kementerian Pendidikan mencatat ada 187 kelompok penghayat kepercayaan yang tersebar di 13 provinsi. Sedangkan Dirjen Kependudukan mencatat jumlahnya ada lebih 138 ribu jiwa. Angka itu diperkirakan akan bertambah, ini lantaran sebelum putusan MK mereka mencatatkan diri sebagai pemeluk 6 agama yang diakui pemerintah. Salah satu pemohon uji materi itu contohnya yang terpaksa berbohong dengan keyakinannya agar bisa mendapatkan layanan publik.
Berkurangnya jumlah pengikut jadi sebab munculnya penolakan. Sebab lain lantaran tak ingin kepercayaan itu disejajarkan sebagai agama. Penolakan semacam itu atau meminta pemerintah membangkang pada putusan MK yang final dan mengikat, sepatutnya tak dilakukan. Apalagi hukum tertinggi di negeri ini UUD 45, memberikan jaminan hak bagi setiap warganya untuk beragama atau meyakini kepercayaan.