OPINI

Buruknya Mitigasi Bencana Alam

Petugas Basarnas membawa korban selamat gempa dan tsunami yang terjebak di dalam puing restoran di P

Duka kali ini datang dari Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah. Sampai kemarin sore, jumlah korban sudah 832 orang. Hampir pasti, jumlah korban bakal terus bertambah seiring proses evakuasi yang dilakukan di banyak tempat. 

Yang makin bikin sedih, sekaligus marah, adalah terus berulangnya ketidaksiapan kita dalam menghadapi bencana. Misalnya, soal buoy. Ini adalah alat pendeteksi tsunami  yang masuk dalam rencana besar Sistem Deteksi Dini Tsunami, yang dirancang sejak tsunami Aceh 2004 lalu. Tapi sejak 2012, tidak ada satu pun buoy yang beroperasi. Bayangkan, ini ketahuan sejak 6 tahun lalu tapi semua bergeming. Alasannya sungguh bikin geregetan: karena buoy dipasang di laut lepas, tidak ada yang mengawasi, alhasil hilang oleh nelayan, diambil jangkar, digeret pakai kapal. 

Buruknya lagi, anggaran penanggulangan bencana terus turun dari tahun ke tahun. Di tahun 2018, anggaran bencana harus mengalah pada agenda Pilkada. Padahal kampanye soal mitigasi bencana hampir tak pernah disentuh oleh para calon pemimpin daerah. Ironis. Kombinasi antara anggaran yang minim, kanibalisasi perangkat deteksi dini, sampai tidak tanggapnya masyarakat akan bencana sungguh paket kombo untuk jumlah korban bencana yang tinggi.

Presiden Joko Widodo saat ini sudah di Palu dan meminta supaya semua siap kerja siang malam untuk membantu korban dan memulihkan situasi. Tapi kita tak boleh berhenti di situ. Kita harus memikirkan perencanaan berikutnya. Libatkanlah peneliti sehingga bisa membuat riset menyeluruh sebagai dasar kebijakan mitigasi pemerintah setempat. Karena bencana adalah suatu keniscayaan bagi kita di Indonesia, maka tak ada cara lain: kita harus siap. 

 

  • mitigasi bencana alam
  • tsunami
  • Gempa Donggala
  • gempa Palu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!