Kewajiban memberikan mahar berupa sejumlah uang atau barang kepada mempelai sudah lama diserap menjadi istilah negatif di dunia politik. Mahar bisa berarti suap atau grafitifikasi untuk mendapat kesempatan, jabatan atau kedudukan. Jumlahnya tergantung posisi yang ingin diraih. Makin tinggi, tentu makin besar jumlahnya.
Pada awal tahun ini eks Ketua Umum PSS La Nyalla Mattalitti mengaku dimintai mahar Rp 40 miliar agar bisa maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur. Dia mengaku sudah menyiapkan uang Rp 300 miliar untuk melicinkan jalannya di Pilkada serentak Juni lalu.
La Nyalla berkicau lantaran diminta segera menyerahkan mahar itu. Sementara dia hanya mau memberikan uang bila namanya sudah didaftarkan ke KPU oleh partai Gerindra. Tapi kasus yang cukup menghebohkan itu lantas menguap begitu saja. Penyebabnya La Nyalla tak pernah memenuhi panggilan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur.
Belajar dari kasus di Jawa Timur itu, ada baiknya Bawaslu segera bertindak cepat atas dugaan mahar Rp 1 triliun yang digelontorkan calon Wakil Presiden Sandiaga Uno. Apalagi Sandi disebut-sebut menyediakan biaya kampanye serta bantuan untuk tim pemenangan dan tim pengusung.
Ini perlu segera diklarifikasi. Jangan sampai ajang demokrasi jadi arena transaksi. Sejumlah nama yang disebut mengetahui hal itu bisa segera dipanggil untuk dimintai keterangan. Tujuannya agar kasus tak menguap, dan membuat pemilih apatis dengan calon yang akan berkompetisi. Bawaslu mesti segera menuntaskan kasus ini sebelum KPU menetapkan pasangan Capres pada 20 September mendatang.