OPINI

Pita

Ilustrasi

Sebuah wacana menggelikan datang dari Kepolisian. Yakni penggunaan pita merah-putih bagi jurnalis yang meliput aksi unjuk rasa. Kata polisi, pita merah-putih ini sebagai pembeda antara jurnalis dengan peserta aksi unjuk rasa. Tujuannya, mengantisipasi kekerasan terhadap jurnalis karena polisi lebih bisa mengenali jurnalis. 

Lantas apa artinya lambang pers pada atribut yang biasa dikenakan jurnalis? Apa tanda pengenal yang biasa mereka gunakan tidak cukup? Dan jangan lupa, mengaku sebagai jurnalis pun kerap tidak menghindarkan diri mereka dari aksi kekerasan.

Wacana penggunaan pita-merah ini muncul setelah Polri diduga melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis yang meliput ricuh pada aksi peringatan Hari Buruh Sedunia di Bandung, kemarin. Dua jurnalis yang merekam tindakan aparat kepada massa demo diintimidasi. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, keduanya mengaku dicegat dan dipaksa oleh polisi untuk menghapus gambar. Salah seorang ditendang.

Kekerasan toh tetap terjadi meski mereka terang-terangan mengaku sebagai jurnalis. Jadi bakal sesakti apa itu pita merah-putih melindungi jurnalis dari aksi kekerasan polisi?

Pertengahan April lalu, Reporters Without Borders (RSF) merilis laporan tahunan dan indeks kebebasan pers dunia. Indonesia mandeg di peringkat ke-124. Tidak ada kemajuan sama sekali dibanding tahun 2018. Malah kebebasan pers dinilai makin terancam dengan keberadaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE dan UU Anti-Penodaan Agama.

Hari ini dunia memperingati Hari Kebebasan Pers. Sedih betul jika kasus kekerasan terhadap jurnalis direspon sesederhana penggunaan pita merah-putih.  

  • Jurnalis
  • Pita Merah Puth
  • Kebebasan Pers

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!