OPINI

Pemusnahan Budaya Lokal

Ilustrasi

Peringatan Hari Tari Sedunia di Pontianak, Kalimantan Barat akhir April lalu diwarnai aksi sekelompok orang yang hendak membubarkan acara pentas kesenian. Sejumlah penari menjadi sasaran protes, karena dianggap mengarah pada penampilan Lesbian Gay Biseksual dan Transgender atau LGBT.

Meningkatnya sentimen negatif kelompok tertentu pada LGBT memiliki efek pada nasib budaya-budaya lokal di Indonesia. Ada banyak budaya dan tradisi lokal yang terancam tergerus atau musnah karena mempunyai konsep peran lintas gender. Misalnya seni tari Lengger Lanang di Banyumas, seni ludruk di Jawa Timur atau wayang orang di Jawa Tengah. Begitu juga kesenian Warok Ponorogo yang mengenal istilah gemblak atau pasangan sesama jenis.

Banyak analisa menyebut tergerusnya budaya lokal karena arus globalisasi atau liberalisasi. Namun di Indonesia, budaya lokal banyak tersingkir karena menguatnya paham beragama secara eksklusif, konservatif dan ekstrem beberapa tahun terakhir. 

Perusakan makam raja-raja Yogyakarta pada lima tahun lalu ditengarai dilakukan kelompok penganut agama yang gampang mengafirkan orang lain. Begitu juga vandalisme situs Calonarang di Kediri Jawa Timur dan sejumlah situs bersejarah lain, terang-terangan dilakukan atas nama agama. Perusakan itu mengingatkan aksi kelompok ISIS ketika merusak tempat-tempat bersejarah di Suriah dan Irak. 

Padahal puluhan tahun lalu, budaya dan tradisi lokal tidak pernah mendapat masalah berdampingan dengan para pemeluk agama samawi, terutama dari jazirah Arab.

Menguatnya sikap beragama secara ekstrem dan eksklusif menempatkan budaya dan tradisi-tradisi lokal di ambang pemusnahan. Tradisi dan budaya lokal adalah kekayaan dan warisan bukan benda yang tidak ternilai. Musnahnya budaya lokal berarti hilangnya sebagian kekayaan kita. 

  • Hari Tari Sedunia
  • LGBT

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!