DPR tengah mengupayakan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa rampung dan disahkan Agustus nanti. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan revisi sudah dalam tahap sinkronisasi, finalisasi, tak ada lagi hal yang diperdebatkan. Sebetulnya masih ada beberapa bahasan tersisa; soal perluasan perzinaan, pencabulan dan penghinaan terhadap presiden. Namun Bambang memastikan UU KUHP ini tak bakal melahirkan diskriminasi, juga tak menyasar ruang privat.
Bulan Agustus sengaja dipilih supaya Indonesia punya UU KUHP sendiri di peringatan ulang tahunnya, tak lagi pakai UU pidana warisan kolonial. Karenanya, Panitia Kerja RUU KUHP dikabarkan segera memulai kembali pembahasan pekan ini. Bambang minta tak ada gangguan yang bikin pengesahan kembali gagal. Dia tak ingin pembahasan RKUHP kembali ke titik nol jika dilanjutkan pada DPR periode berikutnya. Jika masih ada yang perlu dikoreksi, perbaikan bisa dilakukan lewat uji materi di MK.
DPR yang tergesa begini agak bikin khawatir. Betul, siapa yang tak ingin UU ini rampung setelah hampir empat dekade lamanya dibahas? Tapi berlarutnya pembahasan dan keinginan memberi ‘kado spesial’ di hari Ulang Tahun bangsa bukan alasan masuk akal untuk menyegerakan pengesahan.
DPR mestinya fokus pada substansi kiritik yang dilayangkan kelompok masyarat atas sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, mulai dari pasal karet yang membuka ruang persekusi hingga sejumlah poin yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Jangan sampai RKUHP jadi seperti ‘lagu lama kemasan baru’, yang masih mengandung ‘rasa’ kolonial di dalamnya.