Judulnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual alias RUU PKS. Namun, sekonyong-konyong populer sebagai RUU pro zina. Sebuah tautan petisi gencar disebar beberapa hari ini. Petisi yang dialamatkan kepada Komisi 8 DPR dan Komnas Perempuan itu isinya mengajak masyarakat menolak pengesahan RUU PKS.
Si pembuat petisi cemas pengesahan RUU membuka jalan pada seks bebas, zina, aborsi, pelacuran, termasuk memberi ruang pada LGBT . Mereka yang meneken petisi menyatakan setuju perlu melindungi keluarga dari asusila.
Ajakan menolak mentah-mentah aturan ini mengkhawatirkan. Menyebut RUU PKS sebagai RUU Pro Zina juga ngawur. Ini adalah aturan yang secara khusus dibuat untuk menangani kekerasan seksual .
Soal perzinaan sudah ada aturannya sendiri, begitu juga aborsi. Jika betul si pembuat petisi sudah baca isi rancangan aturan itu, mestinya dia tak perlu cemas. Semangat aturan itu jelas ingin mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. Termasuk memastikan tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual.
Di sana juga diatur secara rinci penanganan kasus kekerasan seksual termasuk pemenuhan hak korban. Ada macam-macam bentuk kekerasan seksual - dari perkosaan sampai perbudakan seksual yang selama ini tidak pernah diatur. Itu sebab korban seringkali sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan, dan pemulihan. Itu sebab penanganan kasus kekerasan seksual juga sangat buruk.
Sejak 2014 lalu Komnas Perempuan menyatakan Indonesia darurat tindak kekerasan seksual. Angka tindak kekerasan dari tahun ke tahun meningkat. Ribuan kasus. Situasi darurat ini terjadi bukan hanya karena jumlah kasus yang banyak, tapi juga sesat pikir mengartikan aturan yang sejatinya ingin melindungi, malah dilihat sebagai ancaman.