OPINI

Memurnikan Kembali DPD

Gedung Mahkamah Agung

Keputusan Mahkamah Agung  mengabulkan gugatan Oesman Sapta Odang mengundang tanya. Akhir bulan lalu, MA meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU)  membatalkan aturan yang melarang pengurus partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Oesman Sapta adalah Ketua Umum Partai Hanura. Ia saat ini juga menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah. Karena aturan itu, namanya dicoret dari daftar calon anggota DPD untuk Pemilu 2019 .

Sikap MA membela Oesman Sapta seolah menantang putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi  empat bulan sebelumnya. Padahal putusan MK berlaku dan mengikat untuk semua, termasuk hakim di MA.

Sistem parlemen kita menganut bikameral alias dua kamar - DPR dan DPD. DPR diisi anggota partai politik, DPD untuk perseorangan. MK menafsirkan perseorangan adalah orang di luar partai politik.

Namun faktanya, lembaga DPD yang terbentuk hampir 20 tahun lalu, malah jadi tempat bermain partai politik. DPD selalu menjadi target rebutan pengurus partai dalam tiga kali pergelaran pemilu. Menurut catatan Indonesia Parliamentary Center, hingga akhir tahun lalu, dari 132 anggota DPD, lebih dari setengahnya berstatus pengurus partai baik tingkat pusat maupun daerah. Termasuk Oesman Sapta, yang menyebut MK "goblok".

DPD sudah melenceng dari filosofinya untuk mengakomodasi perwakilan daerah dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat. Kini saatnya KPU membantu negara memurnikan DPD dari kepentingan partai politik. Dengan berpegang pada putusan MK, saatnya KPU tegas mengamputasi kaki partai yang ingin bermain-main di DPD.

 

  • Mahkamah Agung
  • KPU
  • DPD

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!