BERITA

Dunia Tanpa Muhammad Ali

 Dunia Tanpa Muhammad Ali

Adakah satu nama yang pantas disematkan sebagai ikon dunia tinju?

Sebelum langsung dijawab, ya, tentu saja kita secara kritis akan bilang, “loh dalam tinju kan ada kelas-kelasnya, kelas yang mana dulu nih?”

Lalu kita akan menyebutkan nama seperti Nassem Hamed dan Chris John di kelas bulu, Oscar de La Hoya dan Manny Pacquiao di kelas menengah, Roy Jones Jr di kelas welter/berat-ringan, serta Mike Tyson dan Lennox Lewis di kelas berat. Mungkin sebagian dari anda juga akan memaksa untuk meminta dimasukkan satu nama lagi di kelas welter, baiklah walau dengan berat hati, Floyd Mayweather Jr!

Tapi bukankah di kelas berat pernah ada nama yang begitu besar di sepanjang dekade 60-an sampai 80-an? Nama yang selalu disebut dan dielu-elukan seluruh penggemar tinju dunia. Nama yang menurut penulis dapat menjawab pertanyaan seputar ‘ikon dunia tinju’, dan bahkan lebih dari itu, nama yang mampu merepresentasikan segala sesuatu tentang dunia tinju. Dia-lah sang Muhammad Ali!

Kepercayaan Diri Yang Melampaui Zaman

Dapat dipastikan bahwa kita akan membahas lebih dalam tentang Muhammad Ali, yang sebelumnya ia bernama Cassius Clay. Penulis maupun wartawan olahraga bisa saja menjadi sangat subjektif ketika membahas Muhammad Ali. Pertama, karena Ali seorang muslim. Kedua, karena Ali seorang kulit hitam, yang notabene masyarakat kulit hitam pernah jadi komoditas dalam perdagangan budak sejak abad ke-15 sampai abad ke-18, terutama dibawa dari Benua Afrika untuk diperbudak di Benua Amerika. Dan ketiga, karena Ali adalah muslim-kulit hitam yang menjadi juara dunia tinju sejak tahun 1964.

Setelah merebut sabuk juara kelas berat tersebut dari Sony Liston, Ali berkoar, “I shook up the world, Im the king of the world. You must listen to me. Im the greatest! I cant be beat.” Dalam hal contoh sikap rendah hati, Ali memang bukan contoh yang baik. Ali merasa kesulitan untuk mencoba rendah hati karena ia menganggap tidak ada orang yang mampu menjadi sehebat dia.

Dapatkah kita menyalahkan arogansi seorang Muhammad Ali? Kita sebaiknya menjadi lebih bijak dengan melihat latar belakang Ali. Pada 1954, di usia 12 tahun Ali (waktu itu masih sebagai Cassius Clay) kehilangan sepedanya karena dicuri pada suatu acara bazar di kota Louisville. Lalu ia menangis ketika melaporkan pencurian itu kepada seorang polisi bernama Joe Martin. Di hadapan Martin, Ali kemudian bersumpah akan menghajar si pencuri sepedanya. Suatu kebetulan Martin merupakan seorang pelatih petarung dan memproduseri suatu acara Tomorrow’s Champions yang menampilkan bakat-bakat tinju dari Louisville. Martin lalu bilang, “well, you better learn how to fight before you challenging people you’re going to whup.” Maka sejak saat itulah (calon) petinju terhebat sepanjang masa menentukan takdirnya.

Ali lalu menjadi juara Kejuaraan Amatir Tinju Union pada 1959 dan 1960. Pada tahun-tahun itu Ali juga masih bersekolah. Dan perjuangan hak sipil warga kulit hitam (african-american) sedang marak. Ali lalu benar-benar membuktikan kualitasnya ketika ia memenangkan medali emas kelas berat pada olimpiade Roma tahun 1960, mengalahkan Zbigniew Pietrzykowski dari Polandia di partai final. Setelah menerima berbagai ucapan selamat di tempat asalnya di Louisville, Ali pun siap masuk dunia tinju profesional.

Menolak Wajib Militer

Cassius Clay merasa setelah apa yang dia perbuat untuk Amerika Serikat (AS) melalui medali emas olimpiade Roma 1960, masih ada tempat-tempat  di AS yang tidak boleh didatangi, restoran-restoran yang dia tidak boleh masuki, hanya karena dia berkulit hitam. Hal itu kemudian diperkuat pertemuan-pertemuan Clay dengan tokoh-tokoh Nation of Islam (sering juga disebut Black Muslim). Sampai kemudian pada Februari 1964 Cassius Clay mengubah agamanya menjadi Islam. Kedekatannya dengan Malcom X dan tokoh utama Nation of Islam, Elijah Muhammad, berhasil menggiring Clay dalam hal agama. Sampai kemudian Elijah Muhammad mengumumkan bahwa ia memberikan nama Muhammad Ali sebagai ganti Cassius Clay.

Sabuk juara kelas berat yang direbut Ali dari Sony Liston tidak bertahan lama berada di pinggang Ali. Setelah Ali menolak wajb militer dalam Perang Vietnam pada 1964, sabuk juara kelas beratnya pun dicabut. 

Apa yang kemudian masyarakat dunia perlu perhatikan adalah tanggapan Ali ketika ketika kehilangan sabuk dan bahkan kemungkinan dipenjara, ia berbicara dengan sangat lantang di depan pers, “why should they ask me to put on a uniform and go 10.000 milles from home and drop boms and bullet on Brown people in Vietnam while so called Negro people in Louisville are treated like dogs and denied simple human right? No im not going 10.000 milles from home to help murder and burn another poor nation simply to continue the domination of white masters of darker people the world over.”

Perlakuan pemerintah, media, dan komisi olah raga menjadi bola panas buat Ali. Suara Ali yang mengecam kebijakan perang AS di Vitenam menimbulkan kecaman terhadapnya, Gubernur Illinois menyebutnya 'disgusting' , sementara Gubernur Meine menyebut Ali, “should be held in utter contempt by every patriotic American”. Sampai Komisi Olah Raga Negara Bagian Illinois membatalkan pertarungan Ali melawan Ernie Terrel pada Maret 1966. Pada perkembangan selanjutnya, Ali didakwa 5 tahun penjara karena penolakan terhadap wajib militer. Walau kemudian proses banding yang dilakukan pihak Ali berhasil menjaganya tidak dipenjara, namun Ali tetap belum bisa naik ring tinju.

Dengan ataupun Tanpa Sabuk Juara

Seiring dengan maraknya kekuatan sipil AS yang menentang perang Vietnam, usaha Ali untuk kembali bertinju kembali mendapatkan ‘angin’. Pada Oktober 1970 Ali mememenangi pertandingan melawan  Jerry Quarry di Atlanta. Sampai kemudian takdir membawa Ali pada seorang Joe Frazier, petinju yang memegang sabuk juara dunia kelas berat selama Ali ‘absen’.  Dalam pertarungan yang dilabeli sebagai “Fight of The Century” itu Ali kalah angka mutlak.  

Pasca pertandingan Ali mengakui dirinya kalah stamina dan kalah kelas, dan menyatakan bahwa Joe Fraizer layak mendapatkan kemenangan dalam buku Muhammad Ali: His Life and Time (Thomas Hauser:2009). Tapi Ali kemudian mendapatkan ‘rezeki’ yang lain, Mahkamah Agung AS memutuskan untuk menolak dakwaan penolakan wajib militer. Ali lalu memenangkan 10 pertandingan berikutnya, sebelum kalah melawan Ken Norton. Ali lalu berkurang artinya, karena sabuk juara kelas berat pada saat itu telah dimiliki George Foreman.

Lalu gayung pun bersambut, seorang promotor baru bernama Don King, Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, berhasil merumuskan Ali versus Foreman, dengan judul pertarungan “Rumble in The Jungle” yang diadakan pada Oktober  1974. Foreman kalah TKO di ronde ke-8. Dan dunia menyaksikan, pada akhirnya, setelah 10 tahun semenjak Ali merebut sabuk gelar juara kelas berat dari Sony Liston, setelah 7 tahun penolakannya terhadap perang Vietnam, Ali akhirnya kembali menyabet gelar juara kelas berat dunia. 

Ali menunjukkan berbagai kehebatannya kepada dunia semenjak kembali menjadi ‘the greatest’. Dia bertemu dengan Presiden Gerald Ford di Gedung Putih. Kembali memenangi pertandingan ketiga dengan Fraizer pada 1975 pada pertandingan bertajuk “Thrilla in Manila”. Ali memenangkan 6 pertandingan berikutnya, termasuk membalas kekalahan atas Ken Norton, sebelum kehilangan gelarnya  oleh Leon Spinks di Las Vegas pada Februari 1978.

Tujuh bulan pasca kekalahannya, Ali menang dalam pertandingan ulang melawan Leon Spinks dan mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai petinju yang 3 kali menyabet gelar juara dunia kelas berat. Akhir karir Ali sebagai petinju profesional baru terjadi pada bulan pertandingannya yang terakhir di tahun  1981.  

Ali didiagnosa mengIdap penyakit Parkinsons pada 1984. Lalu Ali membangun kembali dirinya. Ia menjadi seorang darmawan. Dia memberikan bantuan obat-obatan kepada anak-anak di Indonesia dan Maroko, serta membantu pengungsi di Liberia dan Pantai Gading. Ali juga menyalakan obor olimpiade Atlanta pada 1996. 

Ali juga memainkan perannya sebagai aktivis sosial-politik. Ia menemui Saddam Hussein dan membantu melepaskan 14 tahanan warga negara AS dari pemerintah Iraq. Ia juga pergi ke Afghanistan mewakili AS sebagai duta perdamaian. Setelah serangan ke World Trade Center (WTC) New York pada 11 September 2001, Ali selalu mengkampanyekan bahwa ajaran Islam berbeda dengan tindakan teroris. 

Warisan ataupun peninggalan Ali yang dapat kita nikmati pada hari ini secara kasat mata adalah museum Muhammad Ali Center di Louisville, serta tidak lupa anak wanitanya Laila Ali yang juga sebagai petinju profesional wanita. Tetapi bagi warga dunia, baik penikmat tinju maupun bukan, satu hal yang dapat menginspirasi dari seorang Muhammad Ali adalah bahwa dia mencontohkan sebuah karakter yang kuat menghadapi jatuh-bangun kehidupan. Karakter yang memperjuangkan apa yang diyakini seberat apapun konsekuensinya, dan membagikan cinta kasih kepada siapapun. 

Seorang juara tinju dunia yang melampaui kelas berat manapun. Seorang pejuang yang merepresentasikan kualitas seorang atlet. Seorang manusia yang bangga terhadap identitasnya, bukan untuk menjadi sombong dan rasis, tetapi untuk melawan pandangan rasis terhadap kaumnya.

Ketika kematiannya diumumkan pada Jumat, 4 Juni 2016 banyak rekan sesama petinju, selebritis, bahkan Presiden Barack Obama yang mengucapkan bela sungkawa. Walaupun demikian, masih ada juga orang AS yang masih menganggap Ali sebagai pengkhianat karena tidak menunjukkan solidaritas terhadap para tentara AS yang berjuang di Vietnam. Membuat kita  merasa perlu kilas balik tentang apa alasan AS terjun ke Vietnam, juga tentang perang dingin. Membuat kita mengingat-ingat tentang perjuangan hak-hak warga negara, baik di AS maupun Indonesia.

Terima kasih Ali, selamat jalan champ !


Ahmad Muttaqin

Guru Sejarah SMK Al-Ishlah Cilegon

  • #muhammad ali
  • tinju
  • Amerika Serikat
  • perang vietnam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!