Hari-hari ini, kata “makar” makin akrab di telinga. Situasi pasca Pemilu yang masih panas, dan terus panas jelang penetapan hasil penghitungan suara tanggal 22 Mei nanti.
Ada HS yang mengancam memenggal Kepala Presiden Joko Widodo ketika berdemo di depan Gedung Bawaslu pekan lalu. Meski mengaku khilaf, ia kini jadi tersangka kasus makar karena dianggap mengancam keamanan negara. Atau Kivlan Zen yang namanya muncul lagi ke permukaan. Ia dilaporkan melontarkan pesan-pesan bernada makar ketika berdemo. Kivlan kini tengah mempolisikan balik si pelapor dengan dugaan keterangan palsu. Eggi Sudjana juga jadi tersangka kasus dugaan makar karena menyerukan “people power” dalam sebuah orasi.
Menggunakan pasal “makar” memang perlu hati-hati. YLBHI merujuk pada kasus Eggi yang semestinya tak masuk kategori makar karena sekadar menyerukan "people power" tanpa pengerahan kekuatan. Tapi seruan-seruan yang muncul di tengah berbagai tudingan kecurangan yang terus menggema sejak usai Pemilu memang bikin situasi panas. Sementara Pemerintah malah merespons dengan membuat Tim Hukum Nasional yang justru berpotensi membungkam kritik kepada pejabat negara.
Karena core of the core alias intinya inti semua kegerahan ini adalah kontestasi Pemilu. Menang biasa saja, kalah pun ya tak usah berlebihan. Dulu kita semua begitu menantikan hari pencoblosan sehingga cebong versus kampret segera usai, ternyata itu tak terjadi. Sekarang kita sungguh menantikan tanggal 22 Mei ketika KPU mengeluarkan penghitungan suara resmi. Supaya hidup tak perlu nge-gas terus.