NUSANTARA

Catatan Akhir Tahun, Papua Hanya Membutuhkan Political Will yang Baik

"Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua memprediksi tahun 2014 nanti, produk hukum atau pun berbagai gagasan untuk kemajuan pembangunan di Bumi Cenderawasih hanya berjalan di tempat."

Catatan Akhir Tahun, Papua Hanya Membutuhkan Political Will yang Baik
Catatan Akhir Tahun, Foker Papua

KBR68H, Jayapura- Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua memprediksi tahun 2014 nanti, produk hukum atau pun berbagai gagasan untuk kemajuan pembangunan di Bumi Cenderawasih hanya berjalan di tempat.

Ketua Panitia Pengarah (Steering Committee) Foker LSM Papua, Sefter Manufandu menuturkan, salah satu gagasan untuk dialog Jakarta-Papua dan pemberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) plus tidak akan terjadi tahun 2014 mendatang. Ini karena, tahun depan adalah tahun pemilu dengan digelarnya pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan presiden. Menurut Sefter, yang diperlukan Papua saat ini adalah kebijakan politik yang baik.

“Ide-ide dan produk hukum, seperti UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua dan juga gagasan tentang dialog Jakarta-Papua yang dicetuskan untuk melahirkan harapan baru, mustahil dapat dilakukan pada tahun mendatang,” jelasnya kepada wartawan dalam keterangan persnya Senin siang (30/12).

Terutama Otsus Plus yang saat ini berada di pintu gerbang, kata dia, adalah proyek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun hingga saat ini, “plus” yang dimaksudkan belum jelas.

Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi

Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua juga menilai pembangunan di berbabag bidang di tanah Papua juga masih belum maksimal,

“Papua hanya membutuhkan political will yang baik, untuk mempercepat proses-proses kapasitas tertentu. Hari ini yang lemahnya adalah berkaitan dengan bagaimana jangkauan pelayanan pemerintah yang maksimal. Dari sisi kesehatan, pendidikan maupun ekonomi kerakyatan,” ujarnya.

Sementara, proyek lain yang dilakukan untuk kemajuan di Papua oleh Presiden SBY adanya Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang mengklaim akan melakukan percepatan di tanah Papua. Namun sepanjang UP4B berjalan di Papua dan Papua Barat sejak 2011 silam, juga tak membawa perubahan untuk masyarakat setempat.

“Dari sisi komparatif, Papua memiliki anggaran yang luar biasa dan status kewenangan khusus serta jumlah penduduk 1,8 juta. Dari sisi komparatif itu, dibutuhkan political will untuk mempercepat pembangunan Papua. Misalnya masalah kesehatan, dimana-mana terjadi pandangan tentang kesehatan Papua yang sangat buruk sekali. Mungkin ada satu atau dua rumah sakit yang berada di beberapa kabupaten yang dapat menjadi contoh yang baik. Ada juga bupati yang cerdas menjalankan aspek social,” katanya.

Karenanya, walaupun Papua masuk dalam koridor VI untuk MP3E yakni percepatan pembangunan ekonomi, Foker Papua mendesak Provinsi Papua dan Papua Barat melakukan suatu grand design untuk dapat memproteksi orang asli Papua beserta sumber daya alamnya (SDA). Misalnya saja di Teluk Cenderawasih sudah blok migas oleh Repsol, di Fakfak area wilayah Bomberai akan dibangun Minapolitan, di daerah Merauke dan sekitarnya telah ada Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

“Namun pada kenyataannya pendekatan lebih kepada eksploitasi sumber daya alam dan meminggirkan rakyat pemilik hak ulayat tanah dan menimbulkan aspek bencana social yang lain,” ujarnya.

Masalah Sosial, Politik dan Lingkungan


Sementara itu Program Manajer Foker LSM, Abner Mansai mengatakan perkembangan kehidupan masyarakat di tanah Papua sepanjang 2013, diwarnai dengan berbagai permasalahan, baik politik, HAM, pengelolaan SDA, masyarakat adat, isu Perempuan dan lain sebagainya.

“Hampir sebagian permasalahan ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Permasalahan-permasalahan ini juga sebenarnya merupakan akumulasi dari persoalan yang sama yang dari tahun ke tahun tidak tertangani dengan baik. Sebagai contoh adalah pelanggaran HAM diberbagai daerah di tanah Papua masih saja terjadi, penyelesaian masalah Papua melalui dialog damai yang terus didorong oleh masyarakat Papua tidak mendapatkan respon positif dari Jakarta, pembabatan dan konversi hutan untuk kepentingan bisnis skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan masih marak terjadi, eksploitasi Sumber daya alam (SDA) masih terus dilakukan baik legal maupun ilegal bahkan terjadi secara masif,” paparnya.

Sementara, dari sisi lingkungan hidup, komitmen pemerintah daerah dalam mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim  justru terjadi sebaliknya. Ini bisa dilihat dari semakin tingginya ijin investasi diberbagai daerah yang berpotensi merusak hutan, hanya dengan alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Di sisi lain, perampasan terhadap tanah dan sumber-sumber hidup milik masyarakat adat, juga semakin marak terjadi. Misalnya, perampasan tanah milik masyarakat adat Malind Anim di Merauke untuk kepentingan MIFEE dan penambangan emas ilegal di Degeuwo (Paniai) belum dilesaikan dengan baik. Kasus lain adalah pendulangan pasir laut di Pulau Panjang Fakfak, eksplorasi minyak dan gas alam di Blok Domberai dan pencurian kayu di hampir seluruh Tanah Papua yang sama sekali tidak terkontrol bahkan seakan-akan dibiarkan begitu saja.

“Dari sisi politik dan pengelolaan pemerintahan daerah, muncul keinginan perubahan terhadap UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dengan UU Pemerintahan Papua, atau apapun namanya nanti, ternyata menyebabkan pertentangan baru berbagai kalangan antara yang setuju (pro) dan yang tidak setuju (kontra) terhadap keinginan tersebut. Dan mungkin masih banyak lagi permasalahan sosial di masyarakat yang tidak muncul dipermukaan, atau bahkan terpendam karena tidak menjadi perhatian,” jelasnya. (Katharina Lita)

Editor: Anto Sidharta

  • Catatan Akhir Tahun
  • Foker Papua

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!