BERITA

Bim Salabim Konflik Tanah Urut Sewu, Sertifikat Jadi Milik TNI AD (Bagian 1)

konflik urut sewu

KBR, Kebumen - Nada bicara Basiran sedikit meninggi. Emosi petani asal Desa Ambalresmi, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah itu seperti meluap ketika membicarakan peliknya permasalahan pertanahan di wilayah pesisir tempat ia tinggal.

Basiran sudah puluhan tahun mengolah lahan di wilayah Urut Sewu. Namun tanah seluas 6.827 meter persegi yang ia kini diklaim milik TNI Angkatan Darat Kodam IV Diponegoro.

Basiran menegaskan ia tidak asal menempati dan mengolah lahan tersebut. Ia mengklaim memiliki izin berupa Petok D dan tercatat di desa hingga Kecamatan. Hak kepemilikan sementara itu bahkan sudah dikantonginya lebih dari 20 tahun lalu.

Petok D merupakan surat keterangan pemilikan tanah dari kepala desa dan camat. Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria berlaku 24 Desember 1960, surat tanah Petok D merupakan alat bukti pemilikan tanah yang sama nilainya dengan sertifikat tanah.

Sejak TNI memasang batas di tanah yang diolahnya, Basiran terus diliputi cemas dan resah.

"Tanah itu untuk anak cucu saya, tapi sekarang diberi label oleh TNI. Saya jadi resah, nanti anak cucu saya bisa menggarap lahan ini atau tidak?" kata Basiran, ketika ditemui pada akhir Maret 2021.

Pemasangan patok tanah itu dilakukan secara sepihak, lantaran Basiran tidak pernah diajak bicara.

"Yang tahu ada pemasangan batas adalah Seniman, tetangga saya. Ia melihat pemasangan batas waktu mencari rumput. Saya sendiri tidak pernah melihat pemasangan, tiba-tiba saja ada patok," kata Basiran dengan nada tinggi.

Ia menerangkan sudah memiliki hak kepemilikan tanah sementara sejak tahun 1980, jauh sebelum TNI AD memasang batas tanah.

Basiran juga menuturkan, warga lainya menolak jika TNI AD melakukan klaim atas tanah yang digarap masyarakat desa.

"Kami pernah mengajukan keberatan ke BPN Provinsi Jawa Tengah, namun hingga kini belum ada jawaban yang jelas," kata Basiran.

Baca juga:

Perlawanan warga Urut Sewu

Nama Basiran tercatat sebagai salah satu dari 14 warga Dukuh Manis Jangan, Desa Ambalresmi, Kecamatan Ambal, yang menolak klaim tanah oleh TNI AD.

Basiran pernah mengirim surat penolakan atas klaim tanah oleh TNI AD ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Jawa Tengah pada 2 September 2020. Surat itu ditandatangani 14 warga.

Ia mengantar surat itu di dampingi Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen (TAPUK). TAPUK terdiri dari sejumlah sejumlah lembaga bantuan hukum (LBH) seperti LBH Yogyakarta dan LBH Semarang.

Tetangga Basiran, Suturno juga menyuarakan penolakan atas klaim tanah oleh TNI AD di Urut Sewu.

Suturno bahkan mengklaim hampir semua warga desa menolak pengambilalihan tanah oleh TNI, lantaran tanah tersebut merupakan sumber penghidupan mereka.

"Sebenarnya warga menolak, tapi tidak ada yang berani bersuara. Hanya segelintir orang saja yang berani. Warga juga tidak diam saja. Waktu ada program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), warga juga mengajukan tanahnya untuk mendapatkan sertifikat hak milik. Namun pengajuan ditolak dengan alasan batasan tidak jelas. Tiba-tiba saja tanah itu disertifikasi oleh TNI," kata Suturno ketika ditemui akhir Maret 2021.

Baca juga:

Klaim tanah desa oleh TNI bukan kali ini terjadi. Tokoh masyarakat Urut Sewu dan bekas kepala desa Wiromartan, Widodo Sunu Nugroho mengatakan usaha TNI AD merampas tanah masyarakat di Urut Sewu pernah juga dilakukan sejak 1998.

Pada 1998, kata Sunu, TNI AD pernah mengklaim radius 500 meter dari bibir pantai sebagai tanah TNI. TNI beralasan tanah itu merupakan warisan dari Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL), tentara Hindia Belanda di masa penjajahan. Pada 2007, TNI kembali mengklaim lahan urut sewu. Jaraknya bahkan diperluas, menjadi tanah radius 1.000 meter dari bibir pantai.

Puncaknya pada 2020, TNI AD menyertifikasi tanah warga secara sepihak. Sertifikat tanah dikeluarkan langsung Kementerian ATR/BPN.

Menurut Sunu, TNI AD hendak merampas tanah di 15 desa yang ada di tiga kecamatan yakni Mirit, Ambal dan Bulu Pesantren.

"Hingga kini yang berhasil dikuasai dan disertifikasi baru di lima desa. Dalih TNI, sertifikasi yang dilakukan berdasarkan pada peta minute. Mereka juga melakukan pengukuran dan pematokan secara sepihak. Dari situ jelas ada dugaan maladminitrasi, seolah TNI bersama BPN sengaja melakukan hal tersebut untuk merampas tanah milik rakyat," kata Sunu.

Tanggapan pemerintah soal konflik Urut Sewu

Pemerintah Desa Ambalresmi mengaku tidak tahu ada warga yang menolak TNI menguasai lahan di kawasan Urut Sewu.

Kepala Desa Ambalresmi, Wagino baru tahu setelah warga melayangkan surat keberatan kepada Kementerian ATR/BPN.

"Memang ada warga saya yang menolak? Kenapa tidak lapor melalui kami terlebih dahulu? Kok malah langsung ke pusat," jawab Wagino ketika dihubungi melalui sambungan telepon.

Wagino yang kerap dipanggil Haji Tino itu mengklaim jauh hari sebelum keluarnya sertifikat tanah untuk TNI, pemerintah desa telah melakukan sosialisasi ke warga mengenai pengukuran tanah di wilayahnya. Ia mengatakan sosialisasi itu juga dihadiri oleh warga.

Tino mengklaim pengukuran tanah selama ini telah sesuai prosedur dengan melibatkan tokoh masyarakat, perangkat desa dan BPN yang mengacu pada peta minute.

Ia mengatakan kini setelah ada sertifikat tanah milik TNI yang mengatur batas tanah secara jelas, maka warga sudah bisa mengajukan sertifikasi tanah yang semula ditolak.

"Kalau sekarang warga mau membuat sertifikat, kami bisa menandatangani. Kan sudah ada aturan batas yang jelas dari peta minute," jelasnya.

Baca juga:

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah tak mau disalahkan ketika mengeluarkan sertifikat tanah untuk TNI di lahan Urut Sewu.

Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah Embun Sari mengklaim keluarnya tujuh sertifikat hak pakai tanah di kawasan Urut Sewu atas nama TNI AD Kodam IV/Diponegoro sudah sesuai prosedur, maupun berdasarkan Undang-Undang tahun 2004 Nomor 1 tentang Pegelolaan Aset Negara.

"Terkait dengan sertifikasi di Urut Sewu kenapa bukan BPN yang mengukur? Jadi begini, sepanjang TNI bisa memasang batas atau patok tanah yang akan diajukan untuk sertifikasi, dan tidak ada yang komplain maka peta bidang akan dikeluarkan. Setelah itu Tim BPN akan turun untuk memeriksa kelengkapan serta ada polemik atau tidak. Jika semua memenuhi persyaratan, maka sertifikat akan keluar," kata Embunsari, ketika ditemui di kantornya, awal Juni 2021.

Ia menjelaskan, TNI AD telah mengajukan permohonan kepada BPN sebelum sertifikat tanah dikeluarkan. Proses tersebut juga dinyatakan clean and clear, yaitu adanya bidang tanah (objek), penguasa tanah (subjek), serta ada atau tidaknya hubungan hukum antara objek dan subjek.

Kanwil BPN Jawa Tengah juga mengklaim tidak terlibat dalam penetapan batas patok tanah Urut Sewu. Menurut Embun Sari, pemasangan patok sebagai batas tanah merupakan kewajiban penguasa tanah dalam hal ini TNI, dan telah mengajukan permohonan sertifikasi.

BPN juga tidak mau disalahkan ketika pengukuran tanah oleh BPN tidak melibatkan warga. Menurutnya BPN hanya bertugas menentukan titik koordinat serta luas tanah sesuai dengan batas patok.

"Kalau soal warga, itu sudah urusan pihak desa. Dan sebelumnya kami sudah melakukan sosialisasi. Tugas kami hanya menghitung berapa luas tanah tersebut," kata Embun.

Pada 12 Agustus 2021, Embun Sari mendapatkan promosi menjadi Direktur Jenderal Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan di Kementerian ATR/BPN.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Catatan Redaksi: Ini merupakan bagian pertama dari empat seri tulisan mengenai konflik tanah Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah. Laporan ini merupakan kolaborasi kerja jurnalistik dengan sejumlah jurnalis di antaranya Jamal Abdun Nashr (Tempo), Stanislas Cossy (Serat.id), Rudal Afgani Dirgantara (Liputan6.com), dan Irwan Syambudi (Tirto.id).

  • konflik tanah
  • konflik agraria
  • Urut Sewu
  • TNI AD

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!