NUSANTARA

Ingat 65: Sebuah Narasi Alternatif Tragedi 65

""Kami menilai hingga hari ini ada sesuatu yang tidak diajarkan oleh pemerintah secara lengkap lewat institusi pendidikan mengenai peristiwa 65""

Yogi Ernes

Ingat 65: Sebuah Narasi Alternatif Tragedi 65
Relawan 65: (ki-ka) Ika Krismantari, Prodita Sabarini, Febriana Firdaus saat berbincang di Ruang Publik KBR

KBR, Jakarta- Tragedi 65 yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu, menjadi salah satu kisah kelam sejarah bangsa Indonesia. Namun, ingatan dan kesan akan peristiwa tersebut tahun demi tahun memunculkan narasi beragam.

Untuk itulah, Ingat 65 hadir. Ini adalah gerakan bercerita dari generasi Indonesia yang lahir setelah tahun 65. Ingat 65 menjadi salah satu pembentuk narasi alternatif dari apa yang selama ini didengungkan oleh pemerintah terkait tragedi 65.

“Kami menilai, hingga hari ini ada sesuatu yang tidak diajarkan oleh pemerintah secara lengkap lewat institusi pendidikan mengenai peristiwa 65,” ungkap Prodita Sabarini, salah satu penggagas Ingat 65 dalam program Ruang Publik KBR, Kamis (27/9/2018).

“Ingat 65 adalah tempat kita merefleksikan hal-hal yang terjadi di masa tersebut, diskusi, berbagi cerita, dan kemudian mencoba mengangkat suara-suara yang selama ini tidak terdengar,” sambung Febrina Fidaus, seorang jurnalis yang juga bagian dari Ingat 65.

Sebagai sebuah gerakan bercerita, fokus Ingat 65 ditunjukkan kepada orang-orang yang terkena dampak dari peristiwa 65. Di  mana orang-orang yang terdampak rata-rata adalah generasi kedua  dan ketiga dari keluarga korban 65. Ingat 65 juga  menjadi tempat bagi para generasi muda yang tidak punya silsilah keluarga yang terkait korban 65, untuk melihat sudut pandang lain dari peristiwa tersebut.

Menjadi salah satu tragedi kelam sejarah bangsa Indonesia, Ingat 65 mengatakan penting bagi pemerintah dalam menuntaskan dan telling truth perihal kasus ini. Penyelesaian kasus 65 bukan hanya menjadi bukti jika pemerintah peduli mengenai permasalahan Hak Asasi Manusia di Indonesia, tapi juga sebagai tameng agar kejadian serupa tidak terulang di masa yang akan datang.

Ika Krismantari, seorang Deputi Editor media The Conversation berbagi pengalamannya mewawancarai anak dari salah satu jenderal yang menjadi korban pembantaian gerakan 30 September lalu. Dari wawancara tersebut, semakin meyakinkan ia bahwa kasus ini masih sangat penting untuk diselesaikan.

“Banyak ahli, lewat penelitian mereka mengatakan bahwa kejadian 98 itu ada kaitannya dengan kasus 65. Jadi kekerasan etnis Cina 98 karena ada stigma yang diderita dengan kaitannya oleh China dan komunisme. Kalau tidak diselesaikan entah kapan masalah yang sama bakal terulang lagi,” papar Ika.

Terkait dorongan untuk menonton ulang Film 30S/PKI di tengah masyarakat saat ini, gerakan 65 tidak keberatan akan wacana tersebut. Tapi, dengan satu catatan besar, pemerintah juga harus memberikan ruang yang sama bagi masyarakat dalam mengakses sumber-sumber alternatif yang terkait mengenai peristiwa 65.

“Sumber-sumber alternatif itu misalnya dari novel Pulang-nya Leila S. Chudori, atau film-film dokumenter seperti Jagal, Senyap, dan 40 years of silence. Jadi kita mau akses terhadap karya-karya tersebut juga diberikan oleh pemerintah biar arus informasinya seimbang,” ungkap Febrina.

Sebagai gerakan cerita alternatif peristiwa 65, Ingat 65 berharap ke depannya generasi muda mengetahui apa yang seseungguhnya di balik dari tragedi 65.

“Kami berharap masyarakat harus legowo dan membuka diri dalam menerima narasi-narasi lain terkait 65 dan belajar dari apa yang terjadi dari kasus tersebut,” kata Prodita.

 
  • Tragedi 65
  • Ingat 65
  • Hak Asasi Manusia
  • Komunisme
  • Narasi Alternatif
  • institusi pendidikan

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!