NUSANTARA

Sintang Menanti Perda Ulayat

"Pemda dan DPRD setempat padahal sudah sempat studi banding."

Green Radio-Mongabay

Sintang Menanti Perda Ulayat
Sintang, hutan, Perda ulayat, hak adat, Mongabay

Masyarakat Sintang di Kalimantan Barat harus memendam dulu harapan untuk  mendapatkan legalitas atas hutan adat mereka. Pemerintah dan DPRD Sintang dipastikan gagal memenuhi harapan warga mendapatkan Perda Ulayat yang diusulkan sejak 2011. Padahal sebelumnya, Pemerintah dan DPRD Sintang sudah melakukan studi banding ke Padang, Sumatera Barat, untuk cari rujukan penyusunan rancangan Perda. 


Sekretaris Dewan Adat Dayak Kabupaten Sintang, Agrianus berharap pemerintah dan DPRD Sintang membahas kembali Perda Ulayat. “Kalau tidak bisa diwujudkan anggota DPRD Sintang periode sekarang, mudah-mudahan dilanjutkan oleh dewan yang baru,” katanya di Sintang, Minggu (7/9/2014).


Menurut dia, Perda Ulayat sangat penting bagi masyarakat adat, apalagi laju investasi terus masuk ke daerah. “Kalau hak masyarakat adat tidak dilindungi dengan payung hukum berupa Perda Ulayat, maka konflik investasi akan terus terjadi,” katanya.


Kendala


Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sintang, Herkulanus Roni mengatakan realisasi Perda Ulayat terkendala karena pemerintah belum melakukan inventarisasi hak-hak adat yang ingin diperdakan secara keseluruhan. “Kalaupun sudah diinventarisir, proses realisasi perda masih panjang. Karena, harus dilaporkan ke Kementerian Kehutanan lebih dulu untuk menemukan kesesuaian,” katanya.


Proses inventarisasi lahan adat tidaklah mudah, karena harus melihat apakah kawasan itu masuk dalam areal izin yang sudah dibebaskan atau tidak. “Sepanjang hutan adat tidak bersentuhan dengan perizinan, proses inventarisir akan lebih mudah,” katanya.


Belum selesainya Perda RTRW Kabupaten Sintang menjadi salah hambatan pembentukan Perda Ulayat. “Penyebab lainnya adalah minimnya anggaran. Karena, anggaran untuk melakukan inventarisir hutan adat hanya tersedia tahun 2011, sementara tahun 2012, 2013 dan tahun ini tidak ada,” ucapnya.


Ketua DPRD Sintang, Harjono, menyatakan kendala utama Perda Ulayat Sintang karena RTRW belum selesai. Ia mengakui, Perda tersebut tak akan bisa dibahas oleh anggota DPRD Sintang periode 2009-2014 sampai akhir masa jabatan.  “Kami memang sudah studi banding, tapi kalau RTRW-nya belum ada, bagaimana kami bisa melanjutkan pembahasan,” ucap dia.


Harapan


Pemerintah diharapkan berupaya merealisasikan lagi Perda Ulayat ditahun 2015. “Salah satu proyeksi pemerintah tahun 2015 adalah Perda Hak Ulayat, karena sangat penting. Supaya tercipta keselarasan antara kepentingan masyarakat adat dengan investor dan juga pemerintah. Apalagi, hak adat diakui oleh undang-undang,” ucapnya.


Meski Perda Ulayat belum ada, Roni tidak sependapat hal tersebut membuat hak masyarakat dikebiri. Menurut dia, investasi memiliki ketentuan yang tidak boleh dilanggar dan hak masyarakat dilindungi dalam aturan itu. “Kalau masyarakat selaku pemilik tanah tidak bersedia menyerahkan lahan untuk investasi, investor tidak bisa memaksa,” tukasnya.


Direktur Lembaga Titian, Sulhani, mencoba mendorong pengakuan pemerintah daerah atas hak masyarakat untuk mengelola tanah di wilayah areal penggunaan lain (APL) dan juga perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi.


“Prosesnya masih berjalan, harapan kami tentunya hak kelola masyarakat di wilayah APL dan kawasan bernilai konservasi ini punya payung hukum, setidaknya setingkat peraturan bupati,” kata dia.


Pemerintah lamban


Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sintang, Fransiskus Ancis, menyesalkan lambannya pemerintah dan eksekutif merealisasikan terbentuknya Perda Ulayat di Bumi Senentang. Padahal, keberadaan hutan adat sudah diakui oleh pemerintah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012.


“Dalam putusan itu, hutan adat yang sebelumnya masuk dalam hutan negara, sekarang dipisahkan. Undang-undang secara tegas menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. Hutan adat milik masyarakat adat, pemanfaatannya juga untuk masyarakat adat. Kalau ada pihak lain atau pemerintah ingin memanfaatkannya, harus dengan persetujuan masyarakat adat,” jelasnya.


Berlarut-larutnya penyelesaian Perda Ulayat, menimbulkan kesan political willpemerintah dan legislatif hanya menjadi harapan dan mimpi masyarakat saja. 


“Makanya jangan heran, sekarang ini muncul lagi kasus-kasus terkait investasi di perusahaan perkebunan kelapa sawit. Contohnya kasus penebangan sawit oleh masyarakat di Ketungau Hulu. Kejadian ini bisa dihindari bila hak-hak masyarakat adat dilindungi. Kasus ini seharusnya membuka mata pemerintah dan dewan tentang pentingnya Perda Ulayat,” tegas Ancis.


Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio


  • Sintang
  • hutan
  • Perda ulayat
  • hak adat
  • Mongabay

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!