NUSANTARA

Koesalah Toer dan Ekses Peristiwa 65

"Untaian kalimat yang keluar dari mulut Koesalah terbata-bata dan tak lancar. Maklum usianya sudah 79 tahun. Namun, ia masih ingat detail peristiwa yang ia alamai setengah abad silam."

Koesalah Toer dan Ekses Peristiwa 65
Koesalah Toer, Peristiwa 65

KBR, Jakarta – Untaian kalimat yang keluar dari mulut Koesalah terbata-bata dan tak lancar. Maklum usianya sudah 79 tahun. Namun, ia masih ingat detail peristiwa yang ia alami setengah abad silam. 

Koesalah Soebagyo Toer, adik sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dijebloskan ke Penjara Salemba pada tahun 1968 atau tiga tahun setelah peristiwa terbunuhnya enam jenderal dalam peristiwa G30S. Proses penahanannya dimulai beberapa bulan sejak peristiwa berdarah itu. Saat itu, ia adalah pegawai negeri yang sudah menandatangani surat kontrak kerja dengan pemerintah.


“Masa belajar lima tahun itu harus dikalikan dua jadi 10 tahun. Ditambah satu tahun jadi 11 tahun. Ditambah kerja wajib sarjana 3 tahun. Jadi seluruhnya diwajibkan kerja pada pemerintah 14 tahun. Tapi berhubung terjadnya peristiwa itu Saya baru mengajar satu setengah tahun udah di-screening,” kata Koesalah perlahan ketika ditemui Portalkbr pada pertengahan September di rumahnya di kawasan Depok, Jawa Barat.


Screening atau penyaringan orang-orang yang diduga terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Koesalah saat itu masih mengajar di Akademi Bahasa Asing yang dikelola instansi pemerintah itu. 


Ia diperiksa karena keterlibatanya di dalam kelompok Ansambel Nyanyi dan Tari "Gembira", yang beberapa anggotanya adalah aktivis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi bentukan PKI.  Padahal di kelompok kepemudaan itu, ia hanya berlatih menyanyikan lagu-lagu daerah, nasional dan internasional. Misalkan, lagu “Halo-Halo Bandung” dan “Bangun Pemudi-Pemuda”.


Koesalah bercerita, saat diperiksa, pejabat Kementerian Pendidikan menanyakan alasan tidak dinyanyikannya lagu Arab  dalam kelompok itu. Ia hanya menjawab “belum”.


“Jawaban itu yang dicatat pemeriksa. Keputusannya saya diberhentikan dengan masih diberi gaji sampai pertengahan tahun 1967. Dan berhak atas pensiun,” kenang suami Utati itu.


Setahun setelahnya ia dijebloskan ke Penjara Salemba. Janji pemerintah untuk memberikan pensiun kepadanya pun hingga kini tak terwujud.


Masuk “Penjara Besar”


Tahun 1978, sebelum dibebaskan, Koesalah diwajibkan mengucapkan sumpah yakni: setia pada Pancasila, tidak melakukan gerilya politik (gerpol), tidak mendukung G30S dan tidak menuntut pemerintah dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) atas perlakuan yang diberikan selama ditahan.


Sepuluh tahun dipenjara, ia pun bebas setelah ada penjamin dari keluarga yakni kakak perempuannya. Dengan jaminan ini, kakaknya akan ditahan jika Koesalah tidak melakukan wajib lapor.


Wajib lapor itulah yang membuatnya masuk “penjara besar”. Walau sudah bebas dan berada di tengah masyarakat, ia mengaku tidak bebas. Sebab, ia diwajibkan lapor atau mel ke Bintara Pembina Desa (Babinsa) seminggu sekali hingga 1993.


Dalam pergaulan dengan masyarakat pun, ia masih dianggap “orang asing”. Ini yang ia rasakan saat mencoba ikut perkumpulan Rukun Warga (RW) di Kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur.


“(Setiap) pertemuan  bulanan, ada jamuan makan, kalau saya makan duduk dengan seorang sebentar kemudian orang itu pergi, saya ganti lagi dengan orang lain (dia) pergi juga. Saya amati gejala itu umum. Mereka masih takut kali. Karena mereka tahu saya bekas tahanan,” tutur Koesalah, lirih.


Tiga tahun mengalami perlakukan itu, akhirnya ia pun keluar dari perkumpulan itu.


Perjuangan untuk Bisa Menetap di Depok


Keluar dari penjara, Koesalah menikah dengan Utati, yang juga sempat dipenjara karena aktivitasinya dituding terkait PKI. Mereka mengontrak rumah di Utan Kayu, Jakarta Timur, lalu pindah ke Mampang, Jakarta Selatan dan berakhir di Depok, Jawa Barat.  Namun, untuk bisa memiliki rumah di Depok, perjuangan harus ia lakukan.


“Ketika pindah dari Mampang ke Depok, September 1993. Pindah ke sini prosesnya panjang, 11 bulan. Karena pindah rumah harus lapor, ada penjaminnya juga. (Lapor) ke Bandung ke kantor gubernur. (Saat itu) masih mel ke Babinsa,” ujar Koesalah.


Hasil kerjanya sebagai penerjemah membuatnya bisa membeli rumah di Mapang. Setelah rumah di Mapang ia jual, ia pun membeli sebidang rumah seluas 154 meter persegi di Depok. Koesalah pun mengaku senang bisa tinggal di sini. Sebab, warga di lingkungannya kebanyakan adalah pendatang.


“Umumnya di sini pedagang, dekat pasar tradisional, banyak indekos di sini, kontrakan disini, jadi bebas pergaulannya,” ujar Koesalah.


Ia mengatakan, sejak tahun 2007 sudah tidak mel dan menerima Kartu Tanda Penduduk (KTP) seumur hidup. KTP-nya pun sudah tidak ada tanda ET (Eks Tahanan). Namun, ironinya KTP itu wajib diganti setiap lima tahun sekali. Proses penggantian KTP lima tahunan itu baru berhenti pada dua tahun lalu, 2012.


Saat ini, Koesalah menikmati kebahagiaan bersama istrinya. Dari hasil pernikahannya, mereka memiliki dua anak dan tiga cucu. Seorang anak dan tiga cucunya kini tinggal bersamanya.


“Aktivitas setiap harinnya pagi jalan-jalan setengah jam, baca koran satu sampai dua jam, udah itu menulis memoar. Pukul 11 menjemput cucu pulang sekolah di Mal Depok. Istirahat, jika masih ada tenaga menterjemahkan. Kalau gak ada tenaga lagi yah tidur, memulihkan tenaga,” ujar Koesalah sambil tertawa.


Di usia senjanya kini, ia masih punya asa agar kasus yang menderanya bisa diungkap pemerintah baru yang dipimpin Joko Widodo. Sebab, selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, pengungkapan kasus 1965 hanya janji belaka.


“Selama pelanggaran HAM berat tahun 1965 belum diselesaikan, akan terjadi perulangan pelanggaran HAM  besar atau kecil. Itu sudah terbukti dan masih terus terjadi. Pelanggaran HAM 98, Kasus Trisakti, Kasus Wasior, Pembunuhan Munir dan lain-lain,” ujar Koesalah.


“Apakah Jokowi punya keberanian? Kalau melihat programnya, itu dia berjanji menyelesaikan masalah-masalah ini. Istilahnya ‘menghadirkan negara’. Tapi apa itu dilakukan, kita lihat saja,” pungkas Koesalah.




  • Koesalah Toer
  • Peristiwa 65
  • tragedi 65
  • tragedi65
  • Pelanggaran HAM 1965
  • Pelanggaran HAM Masa Lalu
  • stigma pki
  • korban 1965
  • Korban 65

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!