NUSANTARA

Perizinan Rumit, Nelayan di Rembang Terancam Gulung Tikar

"Banyak perizinan yang harus diurus nelayan sebelum berangkat melaut."

Perizinan Rumit, Nelayan di Rembang Terancam Gulung Tikar
Ilustrasi: Perahu yang tergulung ombak di pesisir pantai utara Sarang, Rembang. Sejumlah nelayan berupaya mengevakuasi, Minggu, (05/12). Foto: KBR/Musyafa

KBR, Rembang– Sejumlah pemilik kapal di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tak bisa melaut selama berbulan-bulan.

Musyafak, salah satu pemilik kapal menjelaskan, penyebabnya ialah lantaran banyaknya perizinan kapal yang bikin pusing nelayan. Ia mengaku, banyak sekali perizinan yang harus diurus nelayan sebelum berangkat melaut.

"Rasanya menangis. Karena belum ada satu pun kapal yang bisa berangkat melaut. Bayangkan, 9 bulan," ujarnya, Rabu, (10/08/2022).

Menurutnya, kondisi itu tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan adanya penyederhanaan aturan, dan tidak berbelit.

"Kenapa sekarang banyak aturan. Dokumen kapal ada grosse akta, Pas besar (Surat Tanda Kebangsaan Kapal, red), kelaikan, radio. Belum lagi di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan, red), ada SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), kelaikan, semua butuh syarat. Kalau dihitung semua ada 50 (aturan, red) lebih," keluh Musyafak.

Musyafak menambahkan, pemerintah memang sudah menyediakan sistem pengurusan perizinan secara online. Namun, kata dia, sistem online pun tidak lebih mempercepat proses. Karena kenyataannya masih tetap lama, kemungkinan bisa sampai 1 tahun.

"Kata Pak Presiden setengah jam. Selesai apanya setengah jam, setahun ini. Kenapa kok enggak dibuat simpel seperti kendaraan, pakai STNK, BPKB. Pengusaha kapal yang SD saja enggak lulus, 'cuma piya-piye, jan-jane iki negoro opo', sampai begitu," urainya.

Padahal saat ini, pengusaha kapal tidak hanya menanggung beban keluarga dan karyawan, tetapi juga beban utang perbankan.

"Sebenarnya saya menjerit. Tapi, menjerit dengan siapa. Hanya Allah yang tahu. Uang bulanan sudah mau habis, paribasane enggak kelar mangan ini. Saya mohon ini disikapi serius," tutur Musyafak.

Patungan Beli Kapal

Nelayan di Desa Pasar Banggi, Rembang, Lilik Sudarsono mengungkapkan keluhan serupa. Ia mengaku, sudah banyak merugi saat melaut. Padahal, kapal yang dipakai melaut adalah hasil dana patungan dengan sejumlah tetangga dan saudaranya.

"Ada 10 orang, terkumpul uang Rp1 M lebih, untuk beli kapal," ucapnya.

"Tidak sesuai pikiran saya. Kapal berangkat, minus Rp100 Juta, kapal berangkat minus Rp50 Juta, berangkat lagi minus Rp25 Juta, terus menerus," keluh Sudarsono.

Lilik kini bangkrut, lantaran kapal rusak dihantam ombak besar. Ia meminta kepada pengusaha kapal tidak dibebani banyak aturan perizinan, karena sudah banyak menderita.

"Ini uang bank semua. Nelayan sudah lelah, tolong Pak, tolong. Kita sudah dioyak-oyak bank, diuber-uber, sampai rumah mau disita. Kenapa surat saja kok dipersulit," terangnya.

Respons Pemda

Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Yunus Mintarso menanggapi keluhan para nelayan tersebut. Kata dia, aturan perizinan berasal dari tingkat pusat, sedangkan pemerintah daerah tinggal melaksanakan saja.

"Perizinan dibagi dua, izin kapal di bawah bobot 30 GT kewenangan provinsi. Untuk kapal 30 GT ke atas, ranah pemerintah pusat. Kalau perizinan dirasa sulit, bisa kita koordinasikan lebih lanjut," paparnya.

Yunus menambahkan, di Kabupaten Rembang terdapat kearifan lokal, yakni pengurus nelayan. Pengurus inilah yang bisa menjadi jembatan untuk membantu mengurus perizinan.

"Karena faktanya di perikanan tangkap masih konsep tradisional. Artinya dengan perkembangan informasi, beliau-beliau kurang begitu paham. Jadi pengurus harus meng-update informasi, untuk disampaikan kepada pemilik kapal," ujar Yunus.

Baca juga:

Puluhan Perahu Nelayan di Rembang Rusak Diterjang Ombak

Editor: Sindu

  • Nelayan
  • Nelayan Rembang
  • KKP
  • Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!