BERITA

Konflik Agraria yang Dibawa ke Pengadilan, Lahan Harus Berstatus Quo

"Kalau langsung dibawa ke pengadilan tanpa BPN memperlihatkan siapa yang punya sertifikat tanah, keadilan patut kita pertanyakan."

Eka Jully

 Konflik Agraria yang Dibawa ke Pengadilan, Lahan Harus Berstatus Quo
Ilustrasi : Sengketa lahan (foto : Antara)

KBR, Jakarta-Bentrokan berdarah antara TNI dan warga di kawasan pesisir Urut Sewu,  Kebumen,Jawa Tengah, Sabtu (22/9/2015) lalu,  menambah deretan kasus kekerasan yang mewarnai konflik lahan atau konflik agraria di Indonesia. Bentrokan yang terjadi akibat perebutan lahan antara TNI dan warga setempat,  membuat sejumlah orang terluka. Menurut Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, jika masalah ini mau dibawa ke pengadilan, maka tanah tersebut harus distatus quo-kan terlebih dahulu.  Meski, ia pesimis, jika masalah ini dibawa ke pengadilan, rakyat seringkali kalah.  

"Sebelum masalah ini dibawa ke pengadilan, yang berwenang menyatakan tanah tersebut milik siapa adalah BPN. Namun BPN menyatakan tidak ada tanda bukti apapun yang dimiliki TNI atas  tanah tersebut. Kalau TNI merasa punya bukti, maka  harus punya riwayat tanahnya, kompensasi terhadap rakyat, melakukan jual beli dan sebagainya.  TNI dapat tanah dari mana, itu harus ditelusuri.  Kalau langsung dibawa ke pengadilan tanpa BPN memperlihatkan siapa yang punya sertifikat tanah, saya kira keadilan dari awalnya patut kita pertanyakan," ujarnya saat berbincang bersama KBR pada progran Reformasi Hukum dan HAM, Senin (24/8/2015).


Ia menambahkan, terjadinya dua pertentangan klaim kepemilikan lahan karena tidak difasilitasi dengan baik  oleh pemda, pemprov, serta pihak kodam setempat. Kata dia, pemerintah selama ini selalu mengedepankan aspek legal soal siapa yang berhak atas tanah tersebut.


"Rakyat membutuhkan tanah, dan TNI membutuhkan area tempat latihan. Itu bisa diselesaikan  jika pemda dan BPN memperlihatkan bukti yang lengkap perihal bukti kepemilikan tanah. Jika terbukti bukan TNI yang sah memiliki tanah tersebut, maka Kodam setempat dan menteri pertahanan harus mempersiapkan lokasi lain untuk dijadikan areal pelatihan. Jika tanah tersebut milik rakyat dan tetap akan digunakan oleh TNI,  maka rakyat harus mendapat kompensasi yang layak," tegasnya.


Konflik agraria meningkat karena peruntukan tanah tidak diprioritaskan untuk rakyat, tapi untuk insitusi skala besar. Banyak konflik agraria terjadi di sektor perkebunan, pertambangan dan kehutanan. Sejak 2009 kasus konflik agraria meningkat. Pada 2013, kasus konflik agraria lebih dari 360 kasus. Setahun kemudian meningkat menjadi 470-an kasus. Untuk itu, semua pihak harus turun tangan, yang paling utama adalah pemerintah pusat.
 

Dengarkan audionya >>> disini

  • konflikagraria
  • konfilklahan
  • TNIvsWarga
  • Urutsewu
  • kebumen

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!