Awal bulan Agustus ini bukan hari baik untuk Puput bin Iswandi. Truk kayu yang dikendarainya ditabrak dari belakang oleh truk pengangkut batubara. Padahal truknya tengah dalam kondisi berhenti karena mogok. Peristiwa ini memakan korban jiwa yaitu seorang perempuan yang tengah hamil 4 bulan, dua anak, juga satu balita yang tewas terlindas.
Ini adalah salah satu kecelakaan yang disebabkan oleh truk batubara. Padahal tiga tahun lalu Pemerintah Sumatera Selatan telah melarang truk pengangkut batubara melintasi jalan umum. Tapi larangan itu ditentang oleh pengusaha batubara.
Awal Agustus ini, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin kembali meminta perusahaan batubara untuk membuat jalur alternatif angkutan. Siapa pun boleh membangun jalur khusus tersebut. “Keputusan persyaratan tetap di tangan Kementerian Perhubungan. Pemerintah Sumsel hanya memberikan rekomendasi terkait usulan tersebut,” katanya. Untuk truk batubara yang masih nekad melintas, maka bersiaplah kena tilang.
Walhi Sumsel bersikap lebih tegas, yaitu meminta aktivitas penambangan batubara dihentikan. “Penambangan batubara merupakan industri kotor. Merusak lingkungan, dan terindikasi adanya korupsi dalam pemberiaan izin maupun pengemplangan pajak. Dampaknya membuat kemacetan, kecelakaan yang memakan korban, serta minimnya pendapatan bagi Sumsel,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel.
Luasan Sumsel mencapai 8.702.741 hektar, sementara hanya sekitar 2,7 juta hektar diperuntukan bagi 300-an perusahaan pertambangan batubara.
JJ Polong dari Spora Institute mengaku yakin kalau Presiden Indonesia terpilih Joko Widodo tidak akan mengandalkan batubara. “Industri ini merusak lingkungan hidup, banyak korupsi, menyengsarakan rakyat, dan tidak berkelanjutan.”
Tulisan ini hasil kerjasama Mongabay dan Green Radio.