Article Image

BERITA

Potret Penanganan Stunting di Masa Pandemi

Sahrani, bocah penderita stunting di Mataram, NTB bersama ibunya, Marliana. Penanganan stunting terhambat pandemi. (FOTO: Zainuddin Syafari/KBR)

Pengantar:

Angka penderita stunting atau gagal tumbuh akibat gizi buruk kronis di Nusa Tenggara Barat melonjak semenjak pandemi Covid-19. Jumlahnya menembus 115 ribu balita atau 23 persen dari total 500 ribu balita. Jurnalis KBR Zainuddin Syafari berbincang dengan keluarga penderita stunting dan otoritas setempat tentang kondisi penanganan stunting di masa pandemi.

KBR, Mataram - Sahrani tampak lesu dan irit bicara. Sepanjang waktu, bocah 4,5 tahun ini duduk bersandar rapat ke tubuh ibunya.

Sahrani adalah anak penderita stunting atau gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis, di Karang Kemong, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Berat badannya tak sampai 12 kilogram atau masih kurang sekitar 3 kilogram dari berat minimal.

“Penanganan stunting dikasih makan saja. Kalau asupan makanan ya seadanya gitu. Setiap bulan dikasi makanan tambahan oleh kader Posyandu,” kata Marliana

Marliana, ibu Sahrani, tak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian anaknya karena dibelit kemiskinan. Apalagi sejak pandemi, satu-satunya pemasukan dari pekerjaan suaminya sebagai tukang parkir pun ikut terdampak.

"Per hari paling 30 ribu, kadang masuk juga 50 ribu sebelum Corona. Namun setelah Corona ya penghasilannya bagi dua dari yang sebelum corona, ya sekitar 20 sampai 25 ribu,” kisahnya.

Selain Sahrani, ada 9 balita lain yang menderita stunting di Karang Kemong. Pandemi membuat penanganannya terhambat karena layanan posyandu ditutup. Sebagai gantinya, kader posyandu terpaksa mendatangi satu persatu rumah penderita stunting.

"Khusus (Puskesmas) Karang Taliwang yang melayani enam kelurahan tidak ada yang buka. Artinya bukan hanya Puskesmas Karang Taliwang, tapi satu kecamatan Cakra tak ada yang buka. Kami door to door dari rumah ke rumah ukur berat badan anak dan tinggi badan anak,” kata Ketua Kader Posyandu Cempaka, Karang Kemong, Nurminah.

Ketua Kader Posyandu Cempaka, Karang Kemong, Nurminah. (FOTO:Zainuddin Syafari/KBR).

Kondisi tak jauh beda juga terjadi di Desa Sembung, Lombok Barat. Posyandu boleh buka, tapi secara terbatas. Sayangnya, tidak ada bantuan apapun untuk balita penderita stunting, kata Sri Wahyuningsih. Anaknya punya kasus sama seperti Sahrani, berusia 4 tahun dengan berat hanya 11 kilogram.

“Posyandunya tetap, namun memang dibatasi. Kami tetap sesuai jadwal pergi ke Posyandu. Belum ada perhatian khusus apa gitu. Cuman pemberitahuan saja dari kadernya, 'anaknya stunting lho, Bu.' Itu saja, kalau bantuan atau apa tidak ada,” tutur Sri.

Jumlah penderita stunting di Desa Sembung cukup tinggi yakni 75 dari 400-an balita yang dilayani. Rauhun, salah satu kader Posyandu setempat mengakui pandemi membuat upaya penanganan terhambat.

“Kalau kemarin kita ada pemberian makanan secara berayan (makan secara bersama-sama-red) sebelum Corona. Setelah Corona katanya akan diadakan, tapi belum. Yang kemarin ada dapur stunting yang dibiayai oleh desa,” kata Rauhun.

Asisten Bidang Administrasi Umum Pemprov NTB, Nurhandini Eka Dewi (FOTO:Zainuddin Syafari/KBR)

Pemerintah Provinsi NTB mengklaim telah memberikan bantuan makanan tambahan bagi penderita stunting melalui layanan Posyandu.

“Ada, jadi kita punya bantuan berupa biskuit. Jadi biskuit itu bukan biskuit biasa, namun yang difortifikasi dengan mikrovitamin. Itu dibagikan kepada anak-anak, mulai dari gizi kurang dan gizi buruk,” ujar Asisten Bidang Administrasi Umum Pemprov NTB, Nurhandini Eka Dewi.

Nurhadini mengakui layanan posyandu terganggu karena pandemi. Akibatnya, hanya 70 persen dari total 500 ribu balita yang tertangani berdasarkan data Februari 2021. Sepanjang 2020, angka stunting di provinsi ini kembali menembus 115 ribu balita. Padahal setahun sebelumnya, jumlah penderitanya sudah berada di bawah 100 ribu.

“Ini kan masalahnya karena pandemi tidak berjalan Posyandu itu, sehingga kita mengevaluasinya tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang cukup intens, sehingga yang baru tertimbang itu baru sekitar 70 persenan balita,” tutur Nurhandini.

Kepala Dinas Kesehatan NTB, Lalu Hamzi (Foto: Zainuddin Syafari/KBR)

Kepala Dinas Kesehatan NTB, Lalu Hamzi Fikri menyebut penanganan stunting juga terkendala mitos-mitos yang berkembang di masyarakat.

“Waktu memberikan makanan pendamping ASI kadang lupa kualitasnya. Hanya dikasi nasi plus garam saja, jadi tidak ada gizi. Padahal bisa menggunakan produk lokal seperti kelor. Ikan pun kita masih berhadapan dengan mitos kita. Misalnya ibu hamil tidak boleh makan buah yang menggantung, itu kan gizi ibu hamil jadi berkurang,” kata Lalu.

Pemprov bakal mengoptimalkan program Posyandu Keluarga guna menangani masalah stunting. Program ini diapreasiasi banyak kalangan sebagai terobosan daerah karena mampu mengintegrasikan layanan untuk balita, ibu hamil, remaja hingga lansia.

“Kita harus keroyok ramai-ramai, sarananya adalah dengan memaksimalkan Posyandu Keluarga. Kalau kita lihat analisis gizi kita, makanya kenapa posyandu keluarga ditekankan oleh Bu Wagub itu sebagai center of education. Ternyata efektif edukasi sampai tingkat dusun ya” pungkas Lalu.

Editor: Ninik Yuniati