BERITA

BPS: Hampir Tak Mungkin Sensus Korban Tragedi 1965 Bisa Akurat

""Sekarang yang bisa diwawancara tahun 65 sudah banyak yang tidak ada," kata Kepala BPS Suryamin."

Wydia Angga

BPS: Hampir Tak Mungkin Sensus Korban Tragedi 1965 Bisa Akurat
Keluarga korban tragedi 1965 mendatangi Komnas HAM, menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. (Foto: www.komnasham.go.id)

KBR, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyebut bahwa sensus dilakukan untuk menghitung data terkini. Ia mencontohkan sensus yang selama ini BPS lakukan seperti sensus penduduk, pertanian, dan ekonomi pada saat sekarang.

Karenanya, ia menilai sensus untuk menghitung jumlah korban tragedi kemanusiaan 1965 hampir tidak mungkin jika dilakukan untuk mendapat data dengan akurasi tinggi.


"Nggak bisa dan memang tidak ada sampai ke sensus korban. Siapa yang diwawancara sekarang, tidak memungkinkan untuk menyensus jumlah korban 1965. Sekarang yang bisa diwawancara tahun 65 sudah banyak yang tidak ada," kata Suryamin kepada KBR, Senin (9/5/2016).


Sebelumnya, para korban tragedi 1965 meminta pemerintah melakukan sensus atau survei untuk mencari data akurat mengenai jumlah korban tewas akibat pembantaian dalam peristiwa 1965.


Namun Kepala BPS Suryamin meragukan metode sensus bisa membantu mencari data akurat korban 1965.


"Sudah generasi berapa sekarang? Kualitas datanya belum tentu bisa dipertanggung jawabkan. Tapi seperti apa, mensensus apa, berapa jumlah korban kematian gitu, itu hampir tidak mungkin, karena siapa unit observasinya," lanjut Suryamin.


Dalam Simposium Nasional Tragedi 1965 yang digelar pemerintah, April lalu, salah seorang korban tragedi 1965, Sri, menyuarakan tuntutan sensus korban 1965.


Tuntutan itu disampaikan menanggapi sikap pemerintah yang meragukan data-data jumlah korban 1965. Sri mengatakan berdasarkan data-data penelitian yang dikumpulkan lembaga korban 1965, jumlah korban tragedi mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang. Korban terjadi di berbagai tempat, mulai dari Jawa Barat hingga Banten, Jawa Tengah dan lain-lain.


Namun, Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dan bekas komandan batalyon TNI Angkatan Darat yang menangani PKI tahun 1965 menyebutkan korban kasus 1965 tidak sampai puluhan ribu. Pernyataan itu memicu protes dari para korban.


Menyikapi polemik soal angka korban 1965, Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita menyarankan pemerintah belajar dari negara-negara lain yang sebelumnya berupaya mengungkap kebenaran dalam tragedi nasional, seperti di Timor Leste, Bosnia, Peru dan lain-lain. Termasuk menggunakan sensus angka kematian.


"Di Komisi Kebenaran Timor Leste, sensus kematian tragedi masa lalu ini dilakukan untuk mengetahui angka kematian konflik 1975-1999. Mereka mencari kematian lewat tiga sumber data. Mulai dari meneliti dan menghitung jumlah batu nisan, melakukan sensus terbatas secara acak tapi menggunakan metode statistik yang benar, serta menggunakan data kesaksian korban atau keluarga korban," lanjut Galuh.


Dari hasil penelitian Komisi Kebenaran itu, kata Galuh, Timor Leste bisa dengan legowo menyebutkan ada 100 ribu hingga 150 ribu orang tewas dalam konflik 1975-1999. Jumlah korban tewas itu tidak hanya karena dibunuh, tapi juga karena kekurangan makanan atau penyakit akibat konflik.


Editor: Agus Luqman

 

  • sensus kematian
  • tragedi 65
  • G30S
  • BPS
  • Timor Leste
  • Luhut Panjaitan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!