BERITA

Pengelolaan Batubara, Antara Kebutuhan dan Ironi

"Pemasukan kas negara dari sektor batubara masih cukup tinggi. Tapi negara-negara maju sudah mulai meninggalkan pengelolaan batubara lantaran dianggap tidak ramah lingkungan"

Bambang Hari

Pengelolaan Batubara, Antara Kebutuhan dan Ironi
Ilustrasi Tambang Batubara. Foto: Antara

KBR- Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyebut Indonesia kecolongan impor batubara hingga 50 juta ton per tahun. Juru Bicara Perhapi, Disan Budi Santoso mengatakan, ini terlihat dari perbedaan angka ekspor yang dicatat Indonesia dengan angka impor batu bara dari Indonesia yang dicatat Tiongkok dan Singapura.

Disan Budi Santoso mengungkapkan, sebanyak 75 persen diekspor dengan harga 55 dolar/ton. Padahal menurutnya, 1 ton batubara, setara dengan 4 barel minyak yang diimpor dengan harga 65 dollar/barel oleh Indonesia. Kata Disan, ini merugikan Indonesia karena saat ini kebutuhan minyak kita mengandalkan impor.

Disan mengatakan lebih sulit untuk memberantas mafia batu bara daripada mafia minyak dan gas, karena pemainnya kecil-kecil dan banyak. Selain itu mereka pun berkomplot dengan aparat keamanan dan birokrasi.

“Justru menurut saya batu bara lebih sulit (menangkap mafianya). Karena banyak pemainnya, kecil-kecil. Kalau di migas kan gampang, paling 1-2-3-4-5. Kalau di batu bara kan, siapa? Haji-haji di Kalimantan Selatan, aparat kepolisian, kejaksaan, ini semuanya bermain," kata Disan, ketika berbincang dalam program Jalan Setapak KBR, Selasa (26/5/2015).

"Mereka juga saling melindungi. Akibatnya ya tadi, jadi catatan pemerintah Indonesia dan Cina tidak match. Artinya apa? Kecolongan. Sampai 50 juta ton per tahun. Masa diselundupin 50 juta ton?,” lanjutnya.

Disan menambahkan, ia sudah pernah melaporkan pada Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM. Namun didiamkan dan tidak ditindaklanjuti. Menurutnya, ekspor batu bara ilegal itu dilakukan selayaknya pencurian ikan, yaitu melakukan bongkar muat batu bara di laut.

Batubara memang murah, tapi selama ini dipandang sebagai energi kotor karena pembakarannya disebut sebagai pemicu Gas Rumah Kaca penyebab Pemanasan Global. Namun anggapan itu sontak dibantah oleh Disan. Menurutnya, teknologi pengolahan batubara saat ini sudah canggih. Ia mengklain, sisa pembuangan akibat pengolahan batubara juga sudah mampu disaring semaksimal mungkin.

“Sekarang teknologinya sudah sangat canggih. Malah bisa menyaring sisa pembuangan hingga ukuran yang sangat kecil, 1 mikron,” terang Disan.

Sementara itu Juru Kampanye Iklim Greenpeace, Arif Fiyanto menuding semua yang dikatakan mengenai batubara sebuah kebohongan besar. Ia menyebut, industri batubara malah justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Batubara disebutnya merupakan bahan bakar fossil terkotor di dunia, secara global batubara bertanggung jawab terhadap lebih dari separuh emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.  “Daya rusak  dan jejak kehancuran yang disebabkan oleh batubara terjadi sejak dari penambangan , pengangkutannya,  sampai ke pembakaran batubara di pembangkit listrik,” papar Arif.

Selain itu ia juga menilai, sikap pemerintah mengenai industri batubara bertolak belakang dengan kecenderungan global saat ini, dimana banyak negara di dunia sudah mulai mengurangi dan meninggalkan ketergantungan terhadap  batubara baik sebagai sumber energi maupun sumber pendapatan ekonomi.

“Tapi pemerintahan Jokowi-JK malah menempatkan sektor pertambangan batubara sebagai  salah satu sumber pendapatan ekonomi nasional,  dan berencana membangun pembangkit listrik 35 ribu megawatt yang  lebih dari 60 persen diantaranya akan menggunakan energi kotor batubara,” kritiknya.

Kalangan industri batubara dan pemerintah yang kerap  menggadang gadang Batubara penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan sumber pendapatan ekonomi Indonesia, ternyata juga tidak lebih dari propaganda dan omong kosong.  Jejak Kehancuran eksploitasi batubara jauh lebih besar ketimbang manfaat yang diberikannya, baik terhadap  masyarakat, lingkungan, maupun negara ini.

Kepada masyarakat di sekitar kawasan pertambangan batubara, umumnya transmigran dan penduduk lokal selama ini  sering dijanjikan pekerjaan agar mau melepaskan ruang hidup mereka yang lestari dijadikan kawasan pertambangan batubara. “Namun kini lebih dari satu juta orang di PHK setelah harga batubara jatuh dalam 3 tahun terakhir. Dan yang tersisa lubang-lubang tambang yang tak mendukung perekonomian setempat,” katanya.

Batubara dan Energi Terbarukan

Sementara itu, pengamat energi dari Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut bahwa pemerintah Amerika memutuskan tidak lagi memperbolehkan investasi untuk batubara. Perusahaan Norwegia juga menyatakan tidak berinvestasi di batubara. Tapi Fabby juga mengatakan bahwa Indonesia harus segera membangun pembangkit listrik dengan jumlah dan kapasitas besar, karena telah mengalami defisit energi listrik sekitar 15-18.000 MW dalam 10 tahun terakhir.

Untuk mengejar kebutuhan energi sesuai RPJMN 2015-1019, konsumsi listrik diharapkan naik dari 700 kwh menjadi 1200 kwh per kapita per tahun. Ada kenaikan konsumsi listrik sekitar 50 persen dari saat ini, sehingga harus ada pembangunan pembangkitan listrik sekitar 50 persen dari kapasitas sekarang.

Untuk itu, ia menganggap pengelolaan batubara untuk menghasilkan energi listrik belum bisa dilepaskan begitu saja. Indonesia masih perlu mengandalkan sektor tersebut. Meski begitu, ia juga menyarankan agar pemerintahan Joko Widodo mulai menggarap energi terbarukan. “Apabila energi terbarukan sudah mulai bisa diproses, pengelolaan batubara mungkin bisa ditinggalkan,” katanya.

Menanggapi target kedaulatan energi yang dicanangkan pemerintah Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Arif Fiyanto mengatakan, visi Jokowi-JK untuk mencapai kedaulatan energi mustahil tercapai , jika mereka masih menempatkan energi kotor batubara sebagai sumber energi nasional, batubara merupakan sumber energi kotor yang tak terbarukan, alih-alih mencapai kedaulatan energi, yang akan terjadi justru kehancuran lingkungan massif yang disebabkan oleh eksploitasi batubara yang juga massif di negeri ini. “Jokowi dan JK seharusnya memimpin revolusi energi di Indonesia dengan beralih dari energi kotor batubara ke sumber-sumber energi terbarukan yang bersih dan berkelanjutan, dan itu harus diawali dengan perubahan paradigma kebijakan energi nasional” tutupnya.

Editor: Malika

Simak perbincangan Jalan Setapak kerjasama KBR, Green Radio dan Mongabay setiap hari Selasa pukul 17.00 WIB | www.portalkbr.com 

  • Setapak
  • Jalan Setapak
  • Batubara

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!