BERITA

Banjir NTT, WALHI: Mitigasi Pemerintah Daerah Buruk Sekali

Banjir NTT, WALHI: Mitigasi Pemerintah Daerah Buruk Sekali

KBR, Jakarta - Para pegiat lingkungan menyebut banjir bandang yang melanda Nusa Tenggara Timur pada Minggu (4/4/2021) terjadi salah satunya akibat ulah manusia yang merusak lingkungan.

Direktur Eksekutif WALHI Nusa Tenggara Timur, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan kerusakan lingkungan tersebut disebabkan karena alih fungsi lahan, pertambangan, dan pembalakan liar. Ia menilai kemampuan pemerintah daerah melakukan mitigasi bencana sangat buruk.

Umbu mengatakan memang ada pengaruh fenomena alam berupa cuaca ekstrem La Nina yang turut menyebabkan banjir di NTT. Namun, kata Umbu, WALHI menemukan sejumlah daerah kemampuan lingkungannya tidak memadai menampung air hujan yang banyak.

"Artinya, daya tampung itu juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Misalnya aktivitas pembangunan. Sumba, misalnya. Kita tahu ada beberapa tempat yang menjadi alih fungsi kawasan hutan yang dijadikan perkebunan tebu. Yang kemudian menjadi salah satu daerah terdampak banjir paling parah. Banjir menghajar lahan lahan pertanian warga yang sebenarnya sudah siap panen di Sumba," kata Umbu Wulang ketika dihubungi KBR, Senin (5/4/2021).

Selain di Sumba, ada juga wilayah Adonara di sebelah timur Pulau Flores. Menurut Umbu Wulang, di Adonara terjadi pembalakan liar di kawasan hutan serta pembakaran hutan setiap tahun.

Umbu juga menyebut wilayah Lembata yang terjadi korban cukup banyak akibat banjir bandang. Menurutnya, wilayah Lembata merupakan daerah rawan bencana.

"Ketika terjadi erupsi Gunung Perapi Ile Ape (Ile Lewotolok), tidak ada korban jiwa. Tapi ketika ada banjir, justru puluhan korban jiwa meninggal. Jadi kami melihat daya sigap pemerintah mengantisipasi bencana ini lemah," kata Umbu Wulang.

Kerusakan lingkungan di NTT, kata Umbu terjadi sejak maraknya investasi di NTT di berbagai sektor; pertambangan, pariwisata, hingga perkebunan monokultur. Ini terjadi sejak awal tahun 2000-an, ketika banyak terjadi alih fungsi kawasan hutan.

"Misalnya di Sumba Timur, ada perusahaan yang membuka kawasan hutan yang membabat habis hutan di Sumba Timur di beberapa titik. Juga praktik illegal logging di daerah Pulau Timor misalnya, penambahan hutan kayu sonokeling yang sempat kami advokasi juga. Saya pikir di periode tahun 2000-an begitu banyak investasi masuk ke NTT, begitu banyak praktik pembangunan yang tidak mengindahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan," tambah Umbu.

Kejadian banjir pada Minggu, 4 April 2021, kata Umbu, memperlihatkan pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan mitigasi bencana. Padahal, kata Umbu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah sering mengeluarkan peringatan dini mengenai curah hujan maupun perubahan cuaca ekstrem.

"Misalnya, ketika BMKG mengeluarkan rilis tentang bahaya La Nina yang akan melanda di NTT dengan badai dan sebagainya, seharusnya pemerintah harus melakukan evakuasi. Misalnya kepada masyarakat yang memang rentan mengalami bencana. Masyarakat di daerah sempadan sungai, yang ada di hulu, yang ada di lereng-lereng bukit. Terutama ini di Lembata yang kita tahu di situ memang daerah erupsi. Dan dengan hujan yang yang intens pasti akan membawa semua hasil muntahan muntahan dari gunung tadi. Jadi mitigasinya menurut kami di NTT buruk sekali," kata Umbu.

Editor: Agus Luqman

  • banjir NTT
  • BMKG
  • Walhi
  • kerusakan lingkungan
  • pembalakan hutan
  • bencana alam

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!