BERITA

Pengamat Transportasi: Pajak untuk Transportasi Online itu Dasar Hukumnya Apa?

Pengamat Transportasi: Pajak untuk Transportasi Online itu Dasar Hukumnya Apa?


KBR, Jakarta - Pengamat transportasi, Azas Tigor Nainggolan mempertanyakan aturan pajak yang akan diberlakukan untuk kendaraan angkutan umum berbasis aplikasi online (dalam jaringan/daring).

Azas Tigor mengatakan selama ini kendaraan angkutan online selalu dituduh tidak taat peraturan karena tidak membayar pajak seperti kendaraan umum konvensional lainnya. Padahal menurutnya, belum ada aturan atau regulasi yang ditetapkan mengenai pajak apa yang harus dibayarkan oleh angkutan kendaraan umum online.


"Kalau narik (pajak) seenaknya tanpa ada aturan, itu namanya pungli. Preman berarti," kata Tigor, Rabu (22/3/2017).


Azas Tigor yang pernah menjabat Ketua Dewan Transportasi Jakarta itu mengatakan sikap pemerintah saat ini yang mengakomodasi kepentingan bisnis transportasi online menggunakan Peraturan Menteri Nomor 32/2016 dianggap tidak jelas. Karena menurut Aza, keberadaan angkutan online saat ini tidak diakui oleh pemerintah, sedangkan disisi lain juga tidak mendapat perlakuan apapun.


"Ojek online itu sampai saat ini tidak diakui, tapi juga didiamkan. Ini gawat. Mau mengakomodasi bisnis tanpa aturan hukum," kata Azas Tigor.


Di samping itu ia juga berpendapat ketentuan penerapan tarif maksimum pada angkutan online justru mengembalikan masalah yang sebetulnya sudah sedikit teratasi. Azas Tigor mengatakan jika biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk menggunakan kendaraan online sama dengan biaya membawa kendaraan pribadi, maka kemacetan karena kendaraan pribadi di jalan akan kembali meningkat.


Baca juga:


Tarif minimum maksimum


Direktur Angkutan dan Multimoda Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan, Cucu Mulyana mengatakan pemberlakuan tarif minimum dan maksimum diperlukan untuk melindungi angkutan konvensional. Jika tidak ada tarif minimum dan maksimum untuk angkutan online, maka angkutan online akan semakin menjamur, dan pengemudi angkutan konvensional akan terdesak dan dirugikan.


Cucu Mulyana menambahkan saat ini sebetulnya pemerintah sudah memberikan banyak kemudahan kepada pengelola angkutan online, seperti pembuatan KIR kendaraan dimana KIR tidak diketok pada mobil melainkan hanya ditempel. Selain itu, angkutan online tidak harus memiliki pool, hanya minimal memiliki garasi yang cukup untuk menampung kendaraan parkir.  


Cucu mengatakan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32/2016 harus segera terealisasi April ini. Ia mengklaim PM 32 itu sudah mendapat dukungan dari para supir konvensional maupun angkutan online di daerah tepat uji publik, seperti salah satunya Makasar.


"Saya mengapresiasi itu. Bahkan mereka mendesak kepada kami untuk segera mensosialisasikan peraturan revisi tersebut. Perlu kami sampaikan juga bahwa adanya gagasan untuk tarif minimum dan maksimum adalah permintaan dari mereka para anggota taksi online dan reguler. Karena mereka merasakan pendapatan mereka juga sudah menurun," kata Cucu.


Tarif minimum diperlukan terutama untuk melindungi kepentingan pengemudi angkutan konvensional, sedangkan tarf maksimum diperlukan bagi pengemudi angkutan online.


"Kalo tidak diberlakukan tarif maksimum, sebagian supir online pasti akan kesusahan dalam membayar cicilan kendaraan mungkin, tapi kita juga harus melindungi konsumen agar tidak terlalu mahal, membayar tarif dengan diadakannya batas maksimum tersebut," tambah Cucu.


Baca juga:


Dwi Reinjani 

  • transportasi online
  • ojek online
  • kementerian perhubungan
  • angkutan konvensional vs online
  • gojek
  • grab indonesia
  • Uber

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!