BERITA

Tuntutan untuk Nenek Asyani Dipaksakan

Tuntutan untuk Nenek Asyani Dipaksakan

KBR, Situbondo - Tim Kuasa Hukum nenek Asyani dari LBH Nusantara Situbondo, Jawa Timur, menilai tuntutan jaksa penuntut umum terhadap kliennya dalam kasus pencurian kayu jati milik Perhutani terkesan dipaksakan.

Ketua tim kuasa hukum nenek Asyani, Supriyono mengatakan, tuntutan yang dipaksakan itu adalah hukuman percobaan pada Asyani. Menurutnya, hukuman percobaan baru bisa dikenakan pada tuntutan di atas satu tahun. 

Selain itu, Supriyono menilai, ketidaklaziman pada tuntutan itu juga terjadi pada denda yang mencapai Rp 500 juta. 

“Di persidangan tidak ada satu pun fakta yang mengungkapkan bahwa nenek Asyani adalah pencurinya. Tapi jaksa tetap dia mengacu pada undang-undang, itu pun setengah- setengah,” kata Supriyono, Jumat (10/4/2015)

Jaksa Penuntut Umum pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Situbondo  menuntut nenek Asyani, dengan hukuman satu tahun penjara, dengan massa percobaan 18 bulan. Selain itu nenek Asyani juga dituntut denda Rp 500 juta.

Jaksa menilai nenek Asyani terbukti memuat, membongkar, mengangkut, mengeluarkan dan menguasai kayu hasil hutan tanpa izin sesuai undang-undang kehutanan.

Kasus yang menjerat nenek Asyani bermula dari laporan Perhutani ke Polsek Jatibenteng atas hilangnya sejumlah kayu jati di kawasan Jatibenteng pada Juli 2014. Polisi lalu melakukan penyelidikan dengan memeriksa tukang kayu bernama Sucipto.

Dari hasil penyelidikan tersebut, sejumlah kayu yang berada di tempat Sucipto persis seperti kayu milik Perhutani. Kayu-kayu tersebut ternyata kayu yang diantar oleh Asyani. Alhasil, Asyani dan Sucipto pun ditetapkan menjadi tersangka. Namun tidak hanya mereka berdua, menantu Sucipto bernama Ruslan dan pekerjanya Abdus Salam juga ikut jadi tersangka. 

Editor: Antonius Eko  

  • Nenek Asyani
  • perhutani
  • pencurian kayu

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!