NASIONAL

RKUHP Ancam Kebebasan Pers?

"Meski pasal itu telah dihapus dalam UU ITE, dan diperbarui dalam RKUHP, namun aturan dalam RKUHP justru memuat masa hukuman penjara lebih lama ketimbang UU ITE."

RKUHP Ancam Kebebasan Pers?

KBR, Jakarta- Pemerintah mengklaim telah menghapus pasal pencemaran nama baik dan pasal penghinaan di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dua pasal itu dicabut lewat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dalam waktu dekat akan disahkan DPR dan pemerintah.

Dua perkara tersebut nantinya bakal diatur di RKUHP dengan berbagai penyesuaian agar tidak menjadi pasal bermasalah maupun pasal karet.

Menurut Anggota Komisi Hukum DPR Taufik Basari, pasal penghinaan itu telah diubah dan diperketat untuk membatasi pihak yang bisa membuat laporan penghinaan. Selain itu, ada tambahan pasal yang menjelaskan mengenai penghinaan yang bisa dipidana.

"Selanjutnya pasal mengenai penyerahan kehormatan harkat dan martabat dan wakil presiden. Saya sejak awal juga meminta pasalnya dihapuskan, karena memang pasal serupa telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 134 KUHP, tetapi pemerintah menganggap bahwa pasal ini harus tetap ada. Karena menurut pemerintah rumusan yang berbeda dan perbedaan terletak bahwa pasal ini bukan delik penghinaan, melainkan delik menyerang kehormatan harkat dan martabat dan wakil presiden,” ucap Taufik dalam siaran pers, Jumat, (2/12/2022).

Anggota Komisi Hukum DPR Fraksi Nasional Demokrat ini mengaku telah mengusulkan penghapusan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Ia beralasan, pasal serupa telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena melanggar Undang-Undang Dasar.

Dalam putusan MK, beleid mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden itu dianggap tidak relevan diterapkan di Republik Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Namun Taufik mengatakan, pemerintah berkeras tetap memuat pasal warisan kolonial itu lantaran rumusan penjelasan yang berbeda. Selain itu kata Taufik, pemerintah menyebut pemuatan itu telah disertai penegasan bahwa pasal ini bukan delik penghinaan melainkan delik menyerang kehormatan, harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Baca juga:

Masa Hukuman Lebih Lama

Selama ini, aturan mengenai penghinaan merupakan beleid paling banyak menjerat jurnalis ke ranah pidana.

    Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, semua kasus pemidanaan jurnalis 2022 berkaitan dengan penghinaan pada pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

    Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin menilai meski pasal itu telah dihapus dalam UU ITE, dan diperbarui dalam RKUHP, namun aturan dalam RKUHP justru memuat masa hukuman penjara lebih lama ketimbang UU ITE.

    "Setelah ditelusuri misalkan, itu ancaman hukumannya di RKUHP lebih tinggi dibandingkan di Undang-Undang ITE khususnya terkait dengan pasal fitnah. Kalau misalkan di Undang-Undang ITE, dia 4 tahun ancaman hukuman, tapi kalau di RKUHP dia 4 tahun, tapi dia ada pemberatan ketika menggunakan sarana elektronik itu 1/3 artinya 5 tahun lebih, ketika akan 5 tahun lebih, potensi penahanan itu sangat terbuka. Kalau misalkan dibilang apakah penghapusan pasal-pasal itu lebih baik? ternyata tidak, bahkan lebih buruk," ucap Ade kepada KBR, Senin, (5/12/2022).

    Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin mendesak pemerintah menunda pengesahan RKUHP. Ia beralasan, selain rawan mengkriminalisasi jurnalis, aturan ini juga memuat pasal karet yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam pemberitaan yang dianggap merugikan pemerintah atau penegak hukum.

    Semisal aturan soal pihak yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan dan bisa menyebabkan keonaran di masyarakat.

    Baca juga:

    Beberapa waktu sebelumnya, Dewan Pers juga telah menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) ke DPR. Tetapi faktanya, aturan RKUHP masih belum sesuai DIM yang telah diserahkan pada Agustus lalu. 

    Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli mengatakan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP masih belum sepenuhnya mengakomodasi masukan rancangan ulang atau reformulasi dari lembaganya.

    Itu sebab, ia khawatir kerja-kerja jurnalistik akan terganggu karena rawan dikriminalisasi lewat pasal multitafsir dalam undang-undang tersebut.

    "Potensi untuk terjadinya kriminalisasi bagi wartawan masih terbuka sepanjang reformulasi yang kami sampaikan itu masih belum masuk ke dalam pembahasan. Di dalam reformulasi yang disampaikan oleh Dewan Pers maka kami memasukkan beberapa frasa yang intinya adalah pasal-pasal sedemikian tidak diberlakukan terhadap kerja jurnalistik dan untuk kepentingan umum," ujar Arif saat dihubungi KBR, Kamis, (10/11/2022).

    Desakan Penundaan Meluas

    Desakan menunda pengesahan RKUHP juga disuarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

    Menurut Ketua AJI Sasmito Mardim, tak hanya kelompok jurnalis yang menolak disahkannya RKUHP, banyak lintas instansi penegak hukum yang mengkritisi pasal yang dinilai multitafsir.

    "AJI bersama Dewan Pers sudah menguji pasal-pasal yang baru dipublikasi oleh pemerintah dan DPR bulan lalu, itu kita uji ke aparat penegak hukum. Kita berdiskusi dengan aparat polisi, kita berdiskusi dengan jaksa, kita berdiskusi dengan Mahkamah Agung. Bahkan aparat hukum sendiri, menilai pasal-pasal yang ada di RKUHP adalah pasal-pasal yang multitafsir yang akan menambah beban kerja aparat penegak hukum," ujar Sasmito saat berorasi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin, 5 Desember 2022.

    Sasmito mengatakan RKUHP yang hendak disahkan, sama sekali tidak memihak kepada penegak hukum yang dalam hal ini bekerja kepada pemerintah.

    Selain itu, pembahasan RKUHP tidak pernah melibatkan partisipasi kepada publik. Sehingga tidak ada ruang publik untuk memberikan masukan atau pendapat.

    Menurutnya, yang terjadi kali ini adalah RKUHP hanya dilakukan sosialisasi sepihak dari pemerintah dan DPR. Posisi rakyat hanya diminta mengikuti keinginan pemerintah dan DPR.

    Penolakan dari Papua dan Papua Barat

    Tak hanya di Bandung, Jawa Barat, aksi unjuk rasa penolakan RKUHP juga disuarakan jurnalis di Papua. Puluhan jurnalis Papua dan Papua Barat berunjuk rasa menolak rencana pengesahaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

    Aksi Alinasi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura yang terdiri dari gabungan jurnalis media cetak dan elektronik itu berunjuk rasa di Kota Jayapura dan di Kota Manokwari.

    Ketua AJI Jayapura mengatakan alasan menolak RKUHP karena ada sejumlah pasal yang dapat mengancam kebebasan pers.

    Pasal itu di antaranya Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. 

    Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah. Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

    "Ini akan mengancam kebebasan pers. Contohnya Pasal 437 mengatur tentang tindakpidana pencemaran. Jadi kalau orang tidak suka namanya itu diberitakan, atau kasusnya, dia akan bawa ke ranah hukum, KUHP. Padahal pers itu punya Undang-Undang Pers untuk mekanisme penyelesaian. Dia bisa memakai mekanisme hak jawab atau klarifikasi. Tidak harus sampai ke ranah hukum," kata Lucky Ireeuw, Senin, 5 Desember 2022.

    Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw mengatakan apabila pasal-pasal itu dimasukkan fungsi media sebagai kontrol tidak lagi bisa berjalan semestinya.

    Menurutnya, sejumlah pasal dalam RKUHP itu nantinya dapat dijadikan alasan  untuk memidanakan jurnalis, perusahaan media bahkan narasumber.

    Editor: Sindu

    • RKUHP
    • Polemik RKUHP
    • Kebebasan pers
    • Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    Komentar (0)

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!