NASIONAL

Jerit Korban Sunat Perempuan Asal Gorontalo

"Ketika itu, usianya baru dua tahun."

Jerit Korban Sunat Perempuan Asal Gorontalo
Ilustrasi sunat perempuan (P2GP).

KBR, Jakarta- "Itu seperti me-recall memori saya yang sangat menyakitkan, tapi tidak sakit secara fisik. Emosi saya itu seperti dihantam-hantamlah pokoknya, rasanya. Jadi, kayak setiap membicarakan tentang khitan perempuan, itu saya selalu merasa sesak di dada. Dan saya tahu, saya merasakan trauma sebenarnya," tutur HB, ketika menceritakan kisahnya kepada KBR, Jumat, (25/11/2022).

Perempuan 32 tahun asal Gorontalo ini tak ingat persis bagaimana sakitnya saat menjalani sunat perempuan. Ketika itu, usianya baru dua tahun.

"Tapi, memang sampai sekarang, karena itu tidak berefek secara fisik, maksudnya ketika berhubungan seksual, atau apa yang terjadi ketika apa namanya membicarakan tentang seksualitas atau reproduksi, itu sampai sekarang tidak ada, tidak ada apa namanya efeknya, jadi saya tidak mendalami untuk pengobatan trauma saya," tutur perempuan berhijab ini.

Menangis

HB baru sadar bahwa dirinya menjadi korban sunat perempuan sekira 2018, atau 26 tahun setelah ia disunat. Saat itu, ada diskusi tentang praktik sunat perempuan di Gorontalo.

"Jadi, Kalis Mardiasih (penulis, red) itu, waktu itu ada acara Gusdurian Gorontalo, kelas menulis keberagaman, kemudian kita lanjutkan dengan kelas Kalis. Nah, di kelas Kalis itu, kemudian Kalis membicarakan tentang khitan perempuan. Nah, pada saat itu saya ke-trigger, membicarakan tentang khitan perempuan yang praktiknya di Gorontalo seperti apa, tapi saya ke-trigger sampai nangis," tuturnya.

Dari situ, ia mulai lebih banyak belajar tentang khitan perempuan. Meski sebelum itu, HB sebenarnya sudah membicarakan tentang sunat perempuan.

Salah satu dosen di Gorontalo ini menjelaskan bagaimana proses sunat perempuan di sana.

"Mungkin teman-teman membayangkan kalau khitan perempuan itu si bayi perempuan ditidurkan dan lain sebagainya, enggak. Ini si bayi perempuan dipakaikan baju adat Gorontalo, yang untuk anak-anak, lalu si ibu itu memangku anak perempuannya. Nah, yang di bagian bawahnya itu ditutupi kain putih, ditutupi dengan kain putih, lalu si dukun itu masuk ke dalam kain putihnya," jelasnya.

Kata dia, umumnya praktik sunat perempuan di Gorontalo dilakukan oleh dukun bayi. Sepengetahuan dia, dukun bayi yang melakukan sunat mendapat upah Rp50-100 ribu, serta mendapatkan makanan atau hasil bumi. Ia mengaku, sempat tidak tahu apa alat yang dipakai dukun bayi untuk menyunat.

"Iya, alat untuk mengeluarkan sesuatulah. Sekarang itu yang saya lihat adalah ini, apa namanya, pemotong kuku, tapi, pemotong kuku yang ada pisaunya itu loh. Nah, yang kayak gitu. Itu kan pisaunya agak tumpul ya. Iya, kan. Tapi, yang ada lancipnya," ujarnya.

Ayam Jantan

Bahkan di beberapa wilayah yang tergolong terpencil, praktik sunat perempuan dilakukan menggunakan ayam jantan.

"Iya, ayamnya itu iya, itu saya juga beberapa kali menemukan itu. Tapi, palingan di daerah yang terdalam. (Beneran?) Iya. Sampai ada yang begitu. Ya, sebenarnya gimana ya, budaya-budaya seperti itu, seperti kita tidak tahu tujuannya apa, tapi itu tetap dilakukan," ungkapnya.

Namun, menurutnya praktik sunat perempuan menggunakan ayam jago sudah agak sulit dan jarang dilakukan.

"Ayam jantan itu mungkin sulit dicari, dan agak repot, maka diganti dengan pisau potong kuku tadi. Tapi, beberapa ada yang menggunakan beberapa pisau yang tajam. Gitu," ujarnya.

Tertidur

Ia mengaku tidak tahu apa yang dikeluarkan atau dilakukan oleh dukun bayi saat menyunat perempuan. Menurut para dukun tersebut, kata HB, tidak ada darah yang keluar saat proses sunat berlangsung.

"Nah, menurut Ibu Nur Rofiah (Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an Jakarta, red) tadi (saat Kongres Ulama Perempuan Indonesia--KUPI--membahas tentang sunat perempuan, red), itu tidak ada sesuatu, daging yang dikeluarkan tanpa menimbulkan darah, kan. Kesulitan kita juga adalah sebenarnya, memastikan bahwa itu memang tidak ada darahnya atau memang sudah disapu, atau dilap oleh si dukun. Kita tidak bisa memastikan itu," jelasnya.

Faktanya kata dia, setiap anak perempuan di sana yang disunat pasti menangis. Anak-anak tersebut menangis sebelum disunat, saat disunat, dan setelah disunat.

"Tapi, ketika selesai, ketika disunat, si ibu itu memangku anaknya, lalu kemudian si dukun itu masuk, itu tangisannya lebih keras. Dan setelah itu juga masih menangis. Si anak menangis sampai dia tertidur," ujarnya.

Turun-temurun

Sunat perempuan di Gorontalo sudah berlangsung lama dan turun-temurun.

"Saya sih selama 32 tahun hidup ini, saya tahunya sudah selama itu. Mungkin sebelum itu juga, karena ibu saya itu menjalankan budaya itu juga. Jadi, kayak yang saya bilang tadi, itu ada budaya khitan perempuan ini di Gorontalo itu secara turun temurun dari garis keturunan ibu. Jadi dari si ibu itu diturunkan ke anak perempuannya, anak perempuannya itu juga menurunkan ke anak perempuannya, dan seterusnya," ungkapnya.

Pendapat berbeda ia dapatkan ketika berbicara tentang sunat perempuan dengan laki-laki atau bapaknya. Menurut HB, para laki-laki di sana umumnya tidak tahu sama sekali ketika membicarakan tentang sunat perempuan, dan tujuannya apa.

"Tetapi, ketika mau membicarakan tentang moral, itu bapaknya sangat mendukung. Iya, perlu untuk dilakukan khitan, karena anak perempuan saya ini harus jadi anak perempuan yang benar. Tapi, kalau membicarakan tentang anatomi, apa sih yang dikeluarkan dari vaginanya perempuan, itu sama sekali seorang bapak itu tidak tahu," jelasnya.

Sunat perempuan tak dilakukan di kalangan anak perempuan non-muslim.

"Itu tidak. Saya memastikan itu, karena di dalam upacara itu ada praktik keagamaannya. Jadi, setelah dukun mengkhitan anak perempuan itu. Setelah itu ada kayak doa, selawatanlah sekeluarga. Ada juga yang diundang untuk menghadiri doa-doa itu," katanya.

Cubi Kodo atau Molubingo

Di Gorontalo, masyarakat lokal memiliki istilah sendiri untuk sunat perempuan.

"Namanya bukan sunat atau khitan, tapi lebih ke Gorontalo-nya itu namanya Cubi Kodo atau Moluuna (sebutan untuk sunat bagi laki-laki. Molubingo untuk anak perempuan, red). Moluuna itu bahasa Gorontalo-nya. Eh, kalau untuk anak-anak yang umur 2 tahun itu anak perempuan, namanya mandi lemon sebenarnya," jelasnya.

Mandi lemon yang dimaksud HB adalah prosesi adat yang dijalani anak perempuan sebelum dikhitan.

"Jadi, di dalam upacara khitan itu, itu tidak hanya khitannya saja, tapi ada serangkaian upacara adatnya. Jadi, kayak diawali dengan mandi lemon, lalu kemudian ada menginjak beberapa piring yang di dalamnya ada simbol-simbol," imbuhnya.

Menurutnya, sunat perempuan merupakan kombinasi dari praktik adat, budaya, dan agama.

"Enggak. Satu hari saja (proses sunat, red), tapi rentangnya cukup banyak. Jadi, ada praktik adatnya, ada praktik budayanya, sama ada praktik keagamaannya. (Malam?) Biasanya sore. Jadi, biasanya khitannya pagi, lalu doanya sore. Apa dari siang sampai sore," tuturnya.

Pertentangan di Keluarga

HB kini sudah menikah, belum memiliki anak. Jika nantinya memiliki anak perempuan, ia tak mau buah hatinya mengalami nasib sama seperti dirinya.

"Saya sudah membicarakan itu dengan keluarga saya. Jadi, karena saya kan jadinya aware dengan khitan perempuan ini, akhirnya saya bertanya kepada bapak saya, kepada ibu saya. Memang ibu saya sangat frontal, mengatakan bahwa itu sudah seperti itu, itu adalah budaya Gorontalo yang tidak bisa kamu keluar dari situ. Itu sudah memang harus dijalankan oleh orang Gorontalo," ungkapnya.

Berbeda dengan ibu, bapaknya tak mempermasalahkan jika HB tidak meneruskan budaya itu pada anak perempuannya.

"Anak berumur dua tahun itu cukup didoakan saja, selawatan saja. Mau kamu menggunakan adatnya atau tidak ya enggak apa-apa, ya. Mungkin mandi lemonnya masih oke, atau menginjak piring-piringnya juga masih oke. Tapi, dengan pelukaan genital itu boleh kamu tidak lakukan. Tidak apa-apa," ujarnya menirukan perbincangan dengan ayahnya soal sunat perempuan.

Rekonstruksi

HB berupaya untuk mengubah tradisi sunat perempuan di Gorontalo. Namun, ia menyadari hal itu sangat sulit dilakukan.

"Sebenarnya saya melihat tantangan saya itu cukup berat. Dan teman-teman saya juga cukup berat tantangannya. Karena melihat bahwa budaya ini dijalankan oleh garis keturunan perempuan, itu yang pertama. Dan saya juga perempuan. Jadi, seperti gontok-gontokan dengan sesama perempuan kan jadinya," katanya.

Selain itu, budaya yang hendak direkonstruksi ini sudah dijalankan oleh banyak orang secara turun-temurun di Gorontalo. Bahkan, sebagian besar orang di Gorontalo menjalankan praktik tersebut.

"Itu sebenarnya tantangan yang sangat berat. Terus yang ketiga adalah produksi narasi-narasi itu tidak banyak, narasi-narasi tentang sunat perempuan itu sangat sedikit diproduksi di Gorontalo," ungkapnya.

Di kalangan sekitarnya, tak banyak yang mendukung upaya mencegah atau mengurangi praktik sunat perempuan. Bahkan, di kalangan akademisi, situasinya juga tak jauh berbeda.

Sebab, upaya memberikan pemahaman tentang bahaya sunat perempuan berhadapan dengan budaya-budaya yang sudah dijalankan secara terus-menerus. Kondisi tersebut didukung oleh pemahaman-pemahaman agama yang sangat kuat di Gorontalo.

"Yang paling baru sebenarnya adalah teman-teman saya, teman-teman riset, lalu juga ada teman-teman saya di Gusdurian. Paling baru di circle itu saja. Bahkan, ketika membicarakan itu di akademik, di teman-teman akademisi, itu masih maju mundur maju mundur," keluhnya.

Pemda setempat, kata dia, juga tak banyak melakukan sesuatu untuk mengubah budaya sunat perempuan di Gorontalo.

"Pemda setempat itu sama sekali tidak, saya tidak tahu apa yang mereka tahu tentang khitan perempuan. Justru saya melihat memang justru tidak ada hubungannya memang, ya ketika membicarakan tentang budaya, ya, membicarakan tentang praktik-praktik masyarakat, tidak membicarakan tentang peraturan-peraturan pemerintah. Mungkin bisa melalui itu, ya," ujarnya.

Gorontalo Masuk 10 Provinsi dengan Angka P2GP Tinggi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2017, Gorontalo masuk 10 provinsi dengan angka Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) tertinggi di Indonesia. Provinsi lain yang juga tinggi adalah Jawa Barat dan Sulawesi Barat.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif tersebut, dihasilkan melalui kuesioner dan wawancara yang melibatkan 4.250 rumah tangga (4.250 ibu dan 2.782 ayah), serta 86 penyedia layanan praktik P2GP.

Wawancara juga dilakukan terhadap pendidik, petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Hasilnya, dari 866 orang (500 istri dan 366 suami) yang menjadi responden di Gorontalo, 621 anggota rumah tangga mereka mengalami P2GP.

Hasil penelitian juga mengungkap alasan para orang tua melakukan P2GP terhadap anak perempuan mereka. Sebanyak 91,6 persen orang tua menjawab itu ajaran agama, 80,4 persen menjawab karena budaya atau tradisi, dan 72,1 persen menyebut itu tradisi keluarga. Motif lain ialah karena alasan kesehatan, jumlahnya 49,8 persen.

Penelitian ini bertujuan untuk mendukung pemerintah Indonesia menyusun kebijakan yang relevan untuk mengurangi dan menghapus P2GP. Sebab, P2GP termasuk bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Permenkes Nomor 6 Tahun 2014

Dari segi regulasi, Kementerian Kesehatan telah mencabut aturan tentang sunat perempuan. Pencabutan dilakukan melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan.

Pertimbangan yang diambil dalam Permenkes itu antara lain karena sunat perempuan hingga saat ini bukan merupakan tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis, dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.

Namun, dalam Pasal 2 aturan tersebut memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k, untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation).

Empat Tipe P2GP

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terdapat empat tipe P2GP:

1.Tipe I, pemotongan klitoris sebagian atau keseluruhan dan/atau kulup (klitoridektomi).

2.Tipe II, pemotongan klitoris dan bibir kecil alat kelamin (labia minora) sebagian atau keseluruhan, dengan atau tanpa pemotongan bibir besar alat kelamin perempuan (labia mayora).

3.Tipe III, penyempitan irifisium vagina dengan pembuatan penutup dengan memotong dan mengaplikasikan labia minora dan/atau labia mayora, dengan atau tanpa eksisi klitoris (infibulasi).

4.Tipe IV, semua prosedur berbahaya lainnya yang dilakukan pada alat kelamin perempuan untuk tujuan nonmedis, semisal menusuk, mengiris, melubangi, menggores, dan kauterisasi.

Sunat Perempuan Haram

Pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Hasyim Asyari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, 24-26 November 2022, menyatakan P2GP yang dilakukan tanpa alasan medis hukumnya haram. Menurut KUPI II, P2GP tanpa alasan medis terbukti merugikan perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian Komnas Perempuan bersama PSKK UGM pada 2017, sunat perempuan mengakibatkan konsekuensi kesehatan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Semisal dalam praktik P2GP tipe 1, dalam tinjauan sistematik terhadap 17 penelitian, ditemukan hubungan yang jelas terhadap komplikasi kesehatan, seperti rasa sakit, pendarahan, infeksi, serta kesulitan buang air kecil dan besar.

P2GP tipe 1 adalah pemotongan klitoris sebagian atau keseluruhan dan/atau kulup. Menurut WHO, berdasarkan hasil riset tersebut, praktik ini paling banyak dilakukan di Indonesia.

Karena itu, semua pihak memiliki tanggung jawab mencegah P2GP tanpa alasan medis. Sikap keagamaan KUPI II terkait P2GP dibacakan Wakil Ketua STAI Teuku Chik Pante Kulu Banda Aceh, Sarina Aini.

"Sedangkan hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau P2GP tanpa alasan medis adalah wajib," ujarnya, Sabtu, (26/11/2022).

KUPI II dan jejaringnya mendorong masyarakat sipil menggunakan sikap keagamaan ini dan menyosialisasikannya ke masyarakat.

Selain itu, KUPI II juga mendesak negara mengadopsi pandangan keagamaan yang melarang praktik P2GP tanpa alasan medis, melalui pembuatan regulasi, hingga tahap penerapannya di tengah masyarakat.

Empat fatwa lain yang dikeluarkan KUPI II adalah soal perlindungan jiwa perempuan dari bahaya akibat perkosaan; pelibatan peran perempuan dalam merawat bangsa dari bahaya ekstrimisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; serta perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.

Sekira 1.500 orang dari 32 provinsi mengikuti Konferensi Intenasional dan KUPI II. Tercatat, ada puluhan ulama perempuan dari 31 negara yang ikut serta. KUPI II mengambil tema: "Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan".

Baca juga:

----------

Catatan Redaksi:

Kamis, 15 Desember 2022, pukul 10.00 WIB, Redaksi mengubah/menyamarkan nama narasumber asal Gorontalo, atas permintaan yang bersangkutan dengan alasan keamanan. 

Editor: Wahyu Setiawan

  • Sunat Perempuan
  • P2GP
  • Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan
  • Gorontalo

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!