BERITA

Refleksi Pemberantasan Korupsi 2021, Habis Gelap Tak Kunjung Terang

Refleksi Pemberantasan Korupsi 2021, Habis Gelap Tak Kunjung Terang

KBR, Jakarta - Upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air masih menjadi sorotan masyarakat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap telah dilemahkan dengan kehadiran undang-undang baru.

Presiden Joko Widodo terus mengingatkan agar seluruh instansi pemerintah menekan perilaku koruptif dalam pelayanan publik. Hal itu disampaikan Jokowi pekan ini. 

Jokowi ingin pelayanan publik terus ditingkatkan agar masyarakat terlayani dengan baik. Ia mengatakan sudah saatnya Indonesia menghadirkan pelayanan publik berkelas dunia.

"Kita kembangkan inovasi digital yang inklusif, kita terapkan digitalisasi untuk tingkatkan efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan akuntabilitas. Kita tekan, kita minimalkan penyimpangan dan perilaku koruptif, di semua lini, di semua lembaga," kata Jokowi dalam Penganugerahan Predikat Kepatuhan Tinggi Standar Pelayanan Publik Tahun 2021 secara daring, Rabu (29/12/2021).

Jokowi tak memungkiri perilaku korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 2021, Jokowi mengakui kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum jumlahnya luar biasa.

Selama periode Januari sampai November 2021, institusi Polri menyidik lebih dari seribu perkara korupsi. Sementara, Kejaksaan menyidik 1.400-an kasus korupsi, dan KPK menyidik 100-an kasus korupsi.

Baca juga:

Salah Demokrasi?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai banyaknya perilaku koruptif terjadi akibat hukum saat ini mudah diperjualbelikan. Penegakan hukum pidana korupsi melemah lantaran saat ini tak lagi ada ketakutan pejabat publik terhadap hukum.

"Karena kalau takut pada hukum itu bisa diakal-akali. Orang bisa beli hukum, orang bisa mengindustrialisasikan hukum sekarang. Di mana hukum itu bisa dibuat untuk membangun sebuah perkara atau untuk menghilangkan sebuah perkara, atau memindahkan sebuah perkara sehingga orang dengan seenaknya korupsi," kata Mahfud dalam peringatan Hakordia Kementerian Keuangan 2021, Rabu (8/12/2021).

Mahfud meyakini, tindak pidana korupsi bisa diberantas dengan menjaga pemerintahan yang demokratis. Menurut Mahfud, jika negara berjalan demokratis, kontrol terhadap korupsi pun dapat berjalan baik.

"Sering banyak yang tanya kenapa masih banyak korupsi, mungkin demokrasinya salah, mungkin namanya demokrasi tapi praktiknya oligarki. Nah kalo oligarki itu menimbulkan banyak korupsi baru," katanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan kinerjanya dalam setahun ini. KPK melaporkan telah menyelamatkan uang negara sebesar Rp 374,4 miliar. KPK juga telah mengembalikan uang negara senilai Rp192 miliar. 

Selama 2021 KPK telah melakukan upaya penindakan dengan rincian, 127 penyelidikan, 105 penyidikan, 108 penuntutan, 90 kasus inkrah dan 94 eksekusi putusan. Dalam setahun ini KPK menangani perkara korupsi dengan total tersangka 123 orang.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, pada tahun depan upaya pencegahan akan berfokus pada perbaikan sistem, tata kelola pemerintahan, politik, sumber daya alam, penegakan hukum dan biro pelayanan publik.

“Di mana setiap kamar-kamar kekuasaan harus mengambil peran dalam rangka pemberantasan korupsi. Baik kamar legislatif dalam penyusunan undang-undang harus bebas dari korupsi, kamar eksekutif dalam penyusunan anggaran belanja negara dan implementasi serta pengesahan maupun pengawasannya harus bebas dari korups, kamar yudikatif seluruh proses peradilan harus bebas dan bersih dari korupsi, begitu juga kamar kekuasaan di partai politik juga harus bebas dan bersih dari korupsi,” kata Firli dalam konferensi pers Kinerja KPK, Rabu (29/12/2021).

Baca juga:

Efek Jera

Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM menilai, penegakan hukum terhadap koruptor yang dijalankan KPK, tidak ada yang istimewa. 

Peneliti Pukat UGM Yuris Rezha Kurniawan mengatakan, penegakan hukum yang dilakukan belum memberi efek jera pada koruptor. Yuris menyarankan, KPK memberi hukuman berupa tuntutan pemiskinan kepada koruptor.

"Pemiskinan itu kan bahasa sederhana. Bahasa terminologi yang lebih baik perampasan aset. Jadi semestinya siapapun yang melakukan korupsi, semestinya penegak hukum bisa mengejar seluruh aset hasil korupsinya. Baik itu melalui misalnya pidana uang pengganti, melalui perdata yang ada dalam Undang-Undang Tipikor, dan berbagai cara yang lain," kata Yuris saat dihubungi KBR (08/12/21).

Sementara itu, Lembaga Pemantau Korupsi Indonesia (ICW) menyebut, kebijakan politik untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi kian meredup. 

Menurut Peneliti ICW Egi Primayogha, optimisme pemberantasan korupsi bukan lagi berharap pada negara melainkan di tangan masyarakat.

“Habis gelap tak kunjung terang. Biasanya habis gelap terbitlah terang, tapi ini gelap terus. Artinya gelap yang akan melanda kita akan cukup lama. Konteksnya adalah itu menggambarkan bagaimana pemberantasan korupsi sebegitu parahnya, sebegitu muramnya. Di sini kita sebagai warga harus bergerak. Tidak bisa lagi berharap pada negara yang tak tahu seperti apa. Demokrasi mengalami kemunduran, ada represifitas dan lainya. Jadi betul-betul ada di tangan warga dan kita harus bergerak,” kata Egi dalam acara Runtuhnya Pemberantasan Korupsi, Jumat (10/12/2021).

Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan, upaya pemberantasan korupsi yang kian merosot, berdampak pada semakin buruknya pengelolaan etika pejabat publik. Praktik rangkap jabatan publik, menyatunya kepentingan politik dan bisnis, menjadi bukti konkret melemahnya tata kelola pemerintahan.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • Komisi Pemberantasan Korupsi
  • Jokowi
  • Korupsi
  • Catatan Pemberantasan Korupsi
  • Koruptor
  • KPK

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!