NASIONAL

HIDUP USAI TEROR Season 2 : Memberi Wajah Pada Terorisme

HIDUP USAI TEROR Season 2 : Memberi Wajah Pada Terorisme

KBR, Jakarta - Halo kamu mendengarkan Hidup Usai Teror, di Season ke 2 ini KBR berkolaborasi dengan Ruangobrol.id. Saya Malika.

Apakah betul ISIS sudah tamat sejak dihancurkan oleh kolaborasi kekuatan pasukan militer Suriah dan Barat pada 2019 lalu? Kelompok ini disebut masih punya kekuatan membangun wilayah kekuasaan baru di negara lain. Apalagi mereka merekrut anggota dan simpatisan dari berbagai belahan dunia. Bergerak dalam senyap, menyebarluaskan paham, merekrut remaja dan anak-anak muda sebagai anggota dan simpatisan melalui internet.

Di season ke 2 ini akan hadir cerita anak-anak muda yang sempat pergi ke Suriah. Diantara mereka memang ada yang bertekad hidup di wilayah yang dibangun ISIS, lainnya pergi untuk menyusul sebagian keluarga yang sudah ada disana lebih dulu, ada juga yang tidak berkesempatan berangkat tapi mengambil peran terdepan menyebarkan propaganda di Tanah Air.

Tapi sebelum menyimak cerita-cerita mereka, kita kenalan dulu dengan Noor Huda Ismail. Jadi, Mas Huda ini adalah orang di balik berdirinya Ruangobrol.id, PhD dari Monash University yang sudah malang melintang mengamati perkembangan isu terorisme dan radikalisme. Jadi sudah sejak tahun 2008, terjun langsung mencoba berbagai hal yang dapat mengurangi resiko radikalisme di Indonesia. Termasuk memberikan kesempatan kedua kepada bekas terpidana terorisme atau mereka yang tertipu ISIS. Mas Huda ini lebih senang disebut sebagai storyteller. Kamu bisa menikmati karyanya melalui buku "Temanku, teroris?" juga melalui beberapa film, seperti "Prison and Paradise" dan "Jihad Selfie".

Dengarkan juga : Tentang Bumi Syam dan Jerat ISIS di Dunia Maya (Part 1)

Malika : "Halo, Mas Huda. Apa kabar?”

Huda : “Halo, apa kabar? Baik, sehat-sehat nih,”

Malika : “Mas Huda, kita kenalan dulu ya dengan pendengar podcast ini. Ruangobrol.id ini apa sih mas? Salah satu bekas returnee yang juga berbagi cerita di podcast ini adalah penulis di Ruangobrol.id,”

Huda : “Yaa.. Ruangobrol.id ini kan media..apa ya istilahnya..website komunitas yang berbasis web. Tetapi orang bisa ngontak kita, kita juga memproduksi narasi-narasi mulai dari Youtube, kemudian kita juga di Instagram kepada credible voice yaitu orang-orang yang pernah terlibat kemudian dalam titik hidup mereka menyadari (bahwa) keterlibatan mereka salah, mereka ingin memulai hidup baru dan yang paling penting supaya yang lain itu tidak mengikuti jalan mereka. Ya orang-orang ini yang kita sebut credible kita poles, kita ajarin ngomong, kita ajarin nulis. Ya jadilah sosok-sosok yang hari ini akan menjadi referensi di isu-isu ini. Kita tau bahwa satu hal yang kesulitan kita menangani isu yang sangat super sensitif ini adalah community ownership. Jadi masyarakat itu tidak begitu memiliki..selalu ngomong ‘wah ini konspirasi supaya memasukan Islam’ ‘ga mungkin lah kita kayak begini’. Jadi sehingga karena tidak ada yang mengakui ini bagian dari kita, (jadi) repot. Nah makanya orang-orang yang pernah kena ini, harusnya suruh ngomong, suruh bicara. Tapi kadang kan mereka susah, tidak dapat platform. Makanya kita bikinin platform ya Ruangobrol itu,”

Malika : “Ini hanya beberapa sih diantara mereka yang berhasil kita temui dan mau berbagi cerita. Tapi sebetulnya mas Huda punya data ga sih? Kira kira berapa banyak ya anak-anak muda bekas returnee atau mereka yang diketahui terlibat dan bergabung dengan kelompok teroris, lalu seperti apa kondisi mereka saat ini?”

Huda : “Kalau data dari Densus itu hampir 60-an. Jadi gini, pertama kali sebelum menjawab pertanyaan itu harus melihat gambar besarnya juga, bahwa apapun yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi dengan dinamika politik Internasional Global, demikian juga sebaliknya. Apa yang terjadi di Global itu juga dipengaruhi dengan kondisi lokal, bagaimana negara asal.

Dalam konteks returnee ini, pada tahun 2014 itu kan ada deklarasi untuk khilafah. Tapi karena 2014 itu juga sudah banyak sosial media, kampanye-kampanye dari kelompok ISIS ini melalui sosial medianya itu, melalui video, kemudian mereka yang paling keren. Dari mereka itu ada layanan servis-nya, jadi kalo ‘lu ada pertanyaan ya lu bisa dijawab langsung sama mereka’ tektokan-nya jelas lah, kira kira begitu. Nah ini ada banyak yang berangkat, se-Indonesia sendiri itu jumlahnya 1000-an lebih lah. Karena yang dideportasi aja itu 550-an, 70% nya itu adalah perempuan dan anak-anak. Sekarang yang hari ini di camp-nya Indonesia 600-an lah, yang udah ada yang mati lah, yang masih disana.

Ada yang deportees, itu dia baru mau berangkat doang tapi ketangkap di wilayah Singapore, atau bahkan Malaysia, ada yang rata-rata di Turki tapi balik lagi karena dokumennya ga jelas. Inilah yang disebut deportees. Penanganannya beda, mereka belum melihat kebohongan ISIS langsung. Jadi gelora mereka untuk hidup dalam khilafah itu masih ada. Makanya misalnya salah satunya, orang yang namanya Si Jaka itu ya dia ingin membela khilafah, tapi sudah dideportasi, gelora nya masih ada, jadi nyari-lah akhirnya ke Poso. Ada yang juga yang deportee itu dan kemudian jadi pelaku bom bunuh diri di Gereja Jolo di Filipina Selatan, jadi gelora belum melihat kebohongan ISIS.

Ada juga yang namanya returnees, yaitu orang-orang yang kebetulan, ehm..saya kan terlibat dalam proses evakuasinya dengan Kementerian Luar Negeri itu ya, mengevakuasi 18 orang Indonesia. Orang-orang inilah yang menyaksikan kebohongan ISIS, karena mereka memang melarikan diri dari ISIS. Suara mereka inilah yang kita kurasi di dalam Ruangobrol itu. Dan Alhamdulillah, Malika ambil mereka menjadi salah satu narsum. Karena ini penting, kisah-kisah ini. Dari sisi jumlah ada juga yang berangkat dari kelompok lain, namanya kelompok JI (Jemaah Islamiyah). Densus mendata jumlah mereka itu lebih dari 70-an yang sudah balik, sebagian ditangkap sebagian lagi masih dicari,”

Malika : “Katanya masih ada yang disana ya?”

Huda : “Ohh masih.. Nah yang uniknya di Ruangobrol ini karena kita ada chat-nya ya. Kisah kita kan kisah tentang orang ini, bahkan diantara mereka itu nge-chat kita langsung. Dan sejak setahunan lebih, saya dan tim membangun komunikasi terus-terusan dengan orang-orang Indonesia yang ada disana. Yang bisa kita data langsung, kita data, kita datangi, kita verifikasi ke rumahnya. Itu minimal 70-an. 70 orang yang kita tau. Misalnya kan mereka contact kita ‘eh alamat lu mana’ kita cek. Supaya deportasi ini kan masalah keputusan politik. Keputusan politik hari ini, pemerintah Pak Jokowi kan anak-anak doang, tapi laki-laki. Seandainya tiba-tiba itu kemudian international community bilang ‘kita ga bisa lagi’ kan SDF bukan negara. Dari pemberontak Syria dan dulu kan dana nya banyak dari Amerika, sekarang kan mulai kerepotan. Makanya kan banyak beberapa negara itu sudah banyak mengambil, Jerman sudah mulai mengambil, Uzbekistan, Indonesia yang belum gitu karena situasi politiknya belum memungkinkan untuk itu,”

Malika : “Jadi mereka meng-contact Ruangobrol.id karena mereka ingin kembali ke Indonesia, gitu ya?”

Huda : “Nah ini menarik ini. That’s a very good question. Camp-nya itu kan ada banyak, ada di Al-Hol, di Al-Roj, dan tidak semuanya itu ingin pulang. Mereka yang ngontak kita itu cuma ‘tolong dong, sodara-sodara gue di Indonesia itu ok ga’. Ada yang di Ruangobrol itu, orang tua dan saudara nya yang ngontak kita. Sebetulnya Ruangobrol ini sebagai media untuk ruang yang memang ngobrolin hal-hal yang sensitif, tapi dari prospek fokusnya itu kepada hal, proses. Prosesnya gimana sih kok bisa orang di Indonesia yang keren enak banget begini lu mau pindah kesana tuh prosesnya apa? What makes you going gitu. Dari semakin sebanyak itu kita ngobrol itu prosesnya gak tunggal ternyata. Kalo kita pikirkan kayanya mereka semuanya main mercon terlibat tembak-tembakan, perang gitu. Tapi banyak yang remeh-temeh, misalnya,”

Malika : “Ada yang karena ngeliat..keren gitu,”

Huda : “Naahh itu. Itu kan yang gak pernah kita bayangin. Itu yang sebetulnya ingin kita angkat. Jadi Ruangobrol secara idealis nya itu adalah we want to give the human face of this issue. Jadi terorisme dikasih wajah manusia gitu. Kalo dulu kan kita wajahnya monster, ya memang some of them doing terrible things, but we need to understand the process nya itu lho. Ini kan sensitif isunya, jadi daripada gue yang ngomong sama elu ya mending mereka yang ngomong. Tapi kita kurasi-kan,”

Malika : “Dengan kita memahami bagaimana mereka bisa kesana, kita juga bisa melakukan aksi yang lebih preventif gitu ya, Mas Huda?”

Huda : “Kira-kira begitu, karena understanding doesn’t mean supporting. Mau coba memahami itu kan bukan berarti mendukung. Kira-kira begitu. Ini kan platform, kalo ngobrolin platform ya kita kolaborasi dengan siapa aja,”

Malika : “Ini kan dari cerita mereka, kita melihat mereka mencoba membangun kembali kehidupan yang baru. Mulai dari nol lagi, menata lagi,”

Huda : “Betul…betul,”

Malika : “Nah dukungan apa sih yang mereka butuh, mungkin mereka sampaikan juga di Ruangobrol.id. Dari masyarakat gitu..”

Huda : “Nah ini penting, karena berdasarkan dari pengalaman saya berusaha mengintegrasikan mereka ke masyarakat itu, salah satu yang paling mendasar itu adalah diterima di level RT/RW. Makanya setahun kemarin itu di Ruangobrol kita bikin projek spesifik menyiapkan RT/RW di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai model. Jadi kalo misalnya kalo ketangkep kgitu nanti ruangobrol itu dah ngomong sama Pak RT, ‘Pak ini ada warga lu yang kena’. Sejak itu juga kita juga akan engage ke keluarganya, kita jelaskan, kita bikin program itu, mendesain modul, bikin buku-nya, dan seluruh proses ini kita filmkan. Filmnya itu kan judulnya ‘The Mentor’ kita menggunakan buku yang judulnya ‘Menanti yang Kembali’.

Jadi semua kegiatan kita memang kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi kita percaya betul kekuatan media. Kita percaya yes we started small tetapi we want to inspire others untuk mengikuti apa yang kita lakukan. Pendekatan kita itu ada people centre and human security. Jadi efek kepada orang dan keamanannya kepada human security, kalo ancamannya terhadap negara paling apa sih dilakukan teroris sementara gak goyang apa-apa. Tetapi keamananan orang kan terganggu, tidak hanya terganggu kepada orang yang dibom tetapi kepada pelakunya sendiri, keluarganya, anaknya, teteh, a’a, banyak lah keluarganya. Dan ini yang sering dilupakan orang,”

Malika : “OK. Mas Huda, terakhir nih. Melihat situasi hari ini, apakah cerita-cerita dari teman-teman muda ini masih relevan dalam arti kita masih harus mewaspadai pergerakan sel-sel teror itu?”

Huda : “Saya kira super relevan, karena itu terjadi pergeseran orang bergabung dalam kelompok teror. Kalo dulunya itu gabung kelompok itu collective action, gabung dulu di kelompok baru jadi teror, JI lah, JAD-lah. Sekarang itu connective action. Dia ga perlu bagian dari kelompok-kelompok begituan, selama lu punya handphone, wifi lu kenceng, nah udah lu bisa connect itu. Ngeklik sana ngeklik sini. Kemudian masuk dalam jaringan itu, dibantu oleh algoritma yang ada di sosial media, karena desain algoritma itu adalah semakin lu itu engaged, cari konten-konten yang nyebelin, atau entry. Ya semakin masuk semakin repot. Testimoni yang sedang teman-teman garap itu supaya bisa jadi refleksi semuanya. Yang bisa menjadi preventif lah, pencegahan. Cukup mereka saja yang pernah terlibat di dalam jaringan ini,”

Malika : “OK, Mas Huda terima kasih waktu dan penjelasannya ya,”

Huda : “Ya. Thank You,”

Malika : “Itu tadi obrolan singkat, sekaligus pengantar untuk menyimak cerita yang akan hadir dalam Serial Hidup Usai Terror Season ke 2. Selamat mendengarkan,”

  • #podcast
  • #HidupUsaiTeror2
  • #Ruangobrolid
  • #deradikalisasi
  • #ISIS
  • #Suriah
  • #returnee

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!