BERITA

Homeschooling Terpapar Radikalisme? Ini Kata Perkumpulan

""Apakah mengajarkan Pancasila, kemudian pendidikan agama, bahasa Indonesia, kewarganegaraan, dan sebagainya jawabnya tidak.""

Homeschooling Terpapar Radikalisme? Ini Kata Perkumpulan
Permendikbud tentang Sekolah Rumah

KBR, Jakarta-  Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) membantah praktik pendidikan homeschooling atau sekolah mandiri terpapar radikalisme. Koordinator PHI Ellen Nugroho mengklaim, sampel penelitian radikalisme dan homeschooling keliru. Penelitian dari  Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah mengambil sampel di Jadetangsel, Surabaya, Padang, Solo, Bandung, dan Makassar.

Ia menyebut penelitian ini membentuk stigma negatif lembaga homeschooler di Indonesia.

"Kami melihat bahwa dari aturan dasarnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau Permendikbud nomor 129 tahun 2014 itu memang sejak awal sudah keliru mendefinisikan homeschooling. Jadi kekeliruannya menumpang tindihkan pendidikan berbasis keluarga dengan pendidikan berbasis lembaga. Akhirnya kan sekarang banyak orang membuat lembaga pendidikan nonformal dan kemudian memasang plang homeschooling, dan orang-orang merasa bahwa, kalau sudah mendaftarkan anaknya ke situ sudah homeschooling gitu, padahal itu bukan pengertian homeschooling yang sesungguhnya. Jadi itu sudah salah kaprah," kata Koordinator PHI Ellen Nugroho kepada KBR, Senin (2/12/2019).


Koordinator PHI Ellen Nugroho mengungkapkan,   sampai saat ini belum mendapatkan hasil penelitian ini secara resmi. Ellen bedalih radikalisme dan intoleransi di dunia pendidikan bukan karena lembaga atau sistem pendidikannya.

Ia meminta, jangan ada label buruk pada suatu lembaga pendidikan. Namun ia tidak memungkiri kemungkinan adanya penyebaran paham radikalisme di homeschooler.


"Bukankah problemnya karena pemerintah tidak mengatur dengan jelas. Jadi kami sebagai praktisi homeschooler, terus terang kami merasa banyak sekali kekosongan hukum yang terjadi di wilayah jalur pendidikan informal. Jadi kami pun di lapangan itu, seringkali harus bertabrakan pendapat dengan pihak dinas pendidikan atau pihak pendidikan nonformal. Tentang homeschooling itu harusnya sebagaimana dan harus dilayani dengan cara bagaimana, harus diperlakukan dengan cara bagaimana? Itu pemerintah tidak membuat aturan," klaimnya.


Koordinator PHI Ellen Nugroho menganggap kekosongan tersebut menjadi celah penyebaran paham radikalisme. Menurutnya, praktik homeschooling atau sekolah rumah dikambinghitamkan pada persoalan ini. Dia meminta pemerintah lebih memperhatikan jalur pendidikan nonformal. Ia mencatat di 2016 ada 329 keluarga homeschooler di 23 provinsi dan 86 kota/kabupaten.


Sebelumnya,   Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan rentannya penyebaran radikalisme di jalur pendidikan homeschooling karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta Arif Subhan mengatakan, homeschooler ekslusif rentan terpapar paham radikalisme.

Dia menyarankan dinas pendidikan lebih mengawasi homeschooler.

"Di homeschooling eksklusif, paham radikal karena monitoring dari dinas pendidikan tidak ada, kemudian mendaftar juga tidak dilakukan, materi dibuat sendiri. Di dalam aturan itu ada kewajiban mengajarkan Pancasila, kewarganegaraan, keagamaan dan bahasa Indonesia gitu. Nah ketika ditanya apakah mengajarkan itu, yang eksklusif ini menjawab tidak. Kalaupun diajarkan, itu hanya untuk kepentingan penyetaraan, ujian penyetaraan gitu. Jadi ini yang paling rentan itu, yang eksklusif ini," kata Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta Arif Subhan kepada KBR, Senin (2/12/2019).


Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta Arif Subhan mengklaim, penelitian ini  tidak mengeneralisir semua homeschooling. Menurutnya homeschooler eksklusiflah yang rentan terpapar paham radikalisme.


"Pertama mereka menutup diri terhadap orang dari luar, kemudian ketika ditanya tentang apakah berinteraksi dengan kelompok agama lain mereka jawab tidak. Kemudian apakah mengajarkan Pancasila, kemudian pendidikan agama, bahasa Indonesia, kewarganegaraan, dan sebagainya jawabnya tidak. Apakah mereka ikut atau menyelenggarakan upacara bendera juga tidak, jadi ada," katanya.


Penelitian radikalisme dan homeschooling mengambil sampel di Jadetangsel, Surabaya, Padang, Solo, Bandung, dan Makassar. Dari 53 homeschooler yang tersebar di Jadetangsel, Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang, ada 5 homeschooler dari 10 homeschooler agama Islam salafi eksklusif yang terindikasi terpapar radikalisme.


Baca juga:


Editor: Rony Sitanggang

  • Komnas HAM
  • ASN
  • aduanasn
  • portal aduan
  • Homeschooling
  • rumah sekolah
  • sekolah mandiri
  • sekolah rumah

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!