BERITA

Benarkah Imunoterapi Solusi Bagi Penderita Kanker Paru?

Benarkah Imunoterapi Solusi Bagi Penderita Kanker Paru?

KBR, Jakarta- November 2014 menjadi bulan kelam bagi Marchadi. Saat itu, pria 56 tahun ini didiagnosis terkena kanker paru-paru Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) positif stadium empat. Dokter memperkirakan usianya tak sampai satu tahun lagi. Ia sulit memercayainya. Itu lantaran laki-laki kelahiran Bandung ini mengaku hidup sehat, dan tidak merokok.

Padahal sepengetahuannya, rokok adalah salah satu penyebab kanker paru-paru. Secara umum rokok menyebabkan 80 persen kasus kanker paru pada laki-laki dan 50 persen pada perempuan. Setidaknya 40 per 100 ribu orang berisiko terkena kanker paru, terutama pria perokok aktif berusia 40 tahun.

"Pertama kali terdeteksi ditemukan tumor sebesar delapan sentimeter di paru kiri, bagian bawah, lobus kiri bawah. Dan sudah menyebar ke tulang-tulang, pangkal paha, tulang belakang, di depan getah bening, di depan lambung, di depan pankreas. Jadi, tetap posisi di tulang, tapi mendekati organ tersebut--paru-paru--," terang Machardi di salah satu mall di Jakarta Barat, Minggu sore, (22/12).

Semula dia tak menyangka sakit yang dirasakannya itu kanker. Ia mengaku, hanya batuk ringan. Kemudian memeriksakannya ke dokter umum.

"Waktu itu saya duduk, tiba-tiba saya mau pindah kaki saya tidak bisa diangkat dan digerakkan sama sekali. Kok lumpuh. Saya kaget sekali. Saya pikir itu mungkin kesemutan. Tapi, ternyata memang enggak bisa bergerak. Kan enggak tahu, dipikir ada saraf terjepit atau apa? Baru kita ke sinshe, ternyata sama sinshe dipijit, mendingan. Tapi, tetap tidak bisa duduk. Duduk satu paha. Paha kiri sakit sekali," tuturnya.


Berobat hingga ke Malaysia

Marchadi juga sempat mengira itu sakit jantung. Dugaan itu didapatnya, lantaran ia ngos-ngosan ketika naik tangga hingga lantai 4. Selama menaiki tangga, ia mengandalkan kaki kanannya, karena kaki kirinya sakit.

"Setelah periksa ke dokter jantung, ternyata di-scan semua pembuluh darah saya tidak ditemukan penyumbatan. Akhirnya dokternya bilang 'coba boleh ya kita di-rontgen'. Di-rontgen seperti ada massa besar. Nah, dia bilang 'kalau untuk lebih jelasnya di-scan'. Discan lagi. Dokter melihat ada benjolan, dan sudah menyebar ke beberapa tempat. Dokter curiga 90 persen adalah tumor. Jadi, saya diminta segera ke dokter onkologi," bebernya.

Setelah mengetahui bahwa ia terkena kanker paru, pria dua anak ini berobat ke sana ke mari, termasuk ke negeri jiran Malaysia. Mulai dari kemoterapi, hingga terapi target.

Tak sedikit biaya dikeluarkan. Saat ini, ia harus mengonsumsi obat senilai 850 ribu sampai 1,1 juta rupiah per hari. Saban dua bulan sekali, ia pergi ke Malaysia untuk membeli obat. Karena di Indonesia belum tersedia.

"Enggak bisa. Enggak sanggup...pasti enggak sanggup. Itu obat itu, sulit sekali, penelitiannya sampai keluar, sampai dijual itu mungkin perlu berapa tahun enggak tahu itu. Kita bikin bikin orang makan mati saja gitu. Jadi, enggak bisa," tegasnya.


Harga Imunoterapi

Marchadi juga sempat menanyakan ke dokternya, soal imunoterapi, yakni metode pengobatan kanker yang diklaim efektif meningkatkan kualitas dan harapan hidup penyintas kanker. Obat yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekira 2017-2018 ini bekerja dengan mengaktifkan sistem imunitas tubuh, yang kemudian mendeteksi dan menghancurkan sel kanker dengan mengerahkan sel T--sel milik sistem imun.

Sistem imun pada tubuh manusia bertugas melawan berbagai penyebab penyakit. Pada kasus kanker kerap ditemukan sel imun tidak mampu mengenali sel kanker, akibatnya sel-sel itu bebas menyebar dan berkembang terus-menerus. Sel kanker juga 'pintar' menyembunyikan diri.

Karena itu, zat pada imunoterapi mampu mendeteksi sel kanker. Salah satu obat imunoterapi adalah atezolizumab. Imunoterapi diklaim memiliki efek samping lebih rendah ketimbang kemoterapi. Selain itu, imunoterapi juga memberikan harapan hidup lebih panjang.

Saat ini sudah ada sejumlah rumah sakit di Indonesia yang melayani imunoterapi, salah satunya di RS Kanker Dharmais.

Hanya saja, obat ini sementara hanya untuk kanker paru dan kanker kandung kemih stadium lanjut. Menurut Marchadi, imunoterapi mahal, sekira Rp30-40 juta per bulannya. Selain itu, kata dia, dokternya pun belum menyarankan, karena menilai terapi target masih cocok.

Tak hanya Machardi, penyintas kanker paru lainnya, Geraldi, juga mengeluhkan mahalnya terapi imunoterapi. Pria 30 tahun asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ini mendengarnya saat menjalani kemoterapi di Johor, Malaysia, 2015 lalu. Sampai sekarang, ia masih memilih kemoterapi sebagai pengobatan kankernya.

"Yang paling utama tentu biaya. Tapi, kalau dipikir-pikir, kalau biaya kan bisa dicari, tapi keyakinan saya untuk menggunakan imunoterapi itu masih belum yakin. Karena kan, saya sebagai pasien kan pasti mencari tingkat kesembuhan dari obat tersebut, dengan jenis penyakit yang sama itu di atas 50 persen tidak dengan obat tersebut. Kalau masih ada yang sembuh, ada yang tidak, masih belum ada dampak sama sekali, saya belum yakin," terang Geraldi melalui sambungan telepon, Minggu (22/12).


Obat Impor Dikenakan Bea Masuk dan PPN

Dokter Spesialis Patologi Anatomi RS Kanker Dharmais, Evelina Suzanna, menjelaskan mengapa obat imunoterapi mahal.

"Penelitian mereka itu kan memang memakan biaya kan mahal banget. Jadi, kita memang harus membayar penelitian orang lain dengan cara itu, akhirnya mahal. (belum bisa diproduksi dalam negeri ya?) Oh, ya enggaklah. Itu kan baru temuan orang. Orang menemukan itu kan pasti ada rahasia dong. Itu sudah aturan dunia. Itu kan 10-20 tahun mereka baru boleh membuka, zat aktif dan apa dan bagaimana. Karena mereka risetnya juga bukan setahun dua tahun," paparnya usai diskusi soal kanker paru ALK+ di Jakarta Pusat, Kamis (28/11).

Evelina memiliki sejumlah solusi agar imunoterapi bisa diakses mudah oleh penyintas kanker paru. Yakni, melalui filantropi, yayasan, atau kepedulian sosial perusahaan (CSR). Ia memberi contoh Malaysia, negara yang sudah membiayai pengobatan penyakit melalui yayasan.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, Dorodjatun Sanusi, 95 persen bahan baku obat, dan obat jadi diimpor dari sejumlah negara, semisal India, dan China. Selain itu, impor juga dikenakan bea masuk 25 persen dan PPN 10 persen.

"Bukan ke konsumen--beban pajak-- ke produknya. Akibatnya apa, akibatnya obat menjadi naik. Akibatnya tidak langsung ke konsumen. Kalau untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kan sebetulnya kita mengusulkan, jika memungkinkan, saya enggak tahu produk lain ada apa enggak...saya dengar zaman dulu ya katanya kertas itu nol persen--pajak--. Tapi, maksud saya itu PPN, pajak penjualan, itu kita mengharapkan supaya itu ditanggung pemerintah," terangnya melalui sambungan telepon, Sabtu (21/12).


Pemerintah Klaim Tanggung Semua Biaya Penyakit

Pemerintah berkata lain soal obat dan pembiayaan yang dikeluhkan. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Cut Putri Ariani mengklaim pemerintah menjamin seluruh biaya pengobatan.

"Semua ditanggung BPJS Kesehatan. BPJS di Indonesia itu hebat banget. Semua ditanggung penyakit. Makanya jadi bocor. Ring, pasang ring ditanggung Rp300 juta, transplantasi ginjal Rp500 juta ditanggung semua. Kalau di luar negeri, yang namanya asuransi itu ada pembatasan. Tapi, di kita ditanggung semua," katanya.

Cut Putri menolak menjawab soal imunoterapi, dan menyarankan menanyakan soal itu ke Direktur Yankes Kemenkes, Hesti. Namun, Hesti tak menjawab panggilan telepon KBR. Pertanyaan soal imunoterapi juga disampaikan ke juru bicara Kemenkes, Widyawati, via telepon dan aplikasi percakapan Whatsapp, namun juga tak berbalas.


Hak Pelayanan Kesehatan yang Sama

Ketua Cancer Information and Support Center (CISC) Ariyanti Baramuli Putri menilai, terapi imunoterapi sulit dijangkau penyintas dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Kata dia, berdasar studi, 70 persen penyintas kanker mengalami kebangkrutan karena berobat. Menurutnya, hal itu tidak adil, karena seharusnya semua warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan setara.

"Sebetulnya ini bisa di-cover BPJS Kesehatan. Tapi, harus ada political will," tegasnya.

Pemerintah boleh mengklaim telah membiayai seluruh biaya pengobatan peserta BPJS Kesehatan. Faktanya, penyintas kanker paru seperti Machardi dan Geraldi, kerap menemui kendala dan masih mengeluarkan biaya besar untuk pengobatan mereka. Keduanya berharap, ada peningkatan pelayanan kesehatan, ketersediaan obat, dan pembebasan bea masuk dan PPN obat impor.


Editor: Ninik Yuniati

  • Kanker Paru
  • Kanker Paru ALK+
  • Kanker
  • Imunoterapi
  • CISC
  • BPJS Kesehatan
  • Kemenkes

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!