KBR, Jakarta - Analisis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperkirakan tsunami setinggi hampir tiga meter yang menghantam Banten dan Lampung pada Sabtu malam disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Ahli tsunami dari BPPT Widjokongko mengatakan erupsi Anak Krakatau sebetulnya tidak begitu kuat. Namun, bukan berarti aktivitas gunung itu sama sekali tidak berpotensi menimbulkan tsunami.
"Tsunami terkait vulkano tidak hanya disebabkan erupsi. Bisa karena keruntuhan dinding chambernya, atau dari pyroclastic flow, lava yang keluar masuk ke dalam laut. Atau kombinasi dari tiga itu," kata Widjokongko kepada KBR, Minggu (23/12/2018).
Widjokongko masih kesulitan memastikan penyebab terjadinya tsunami Pandeglang, karena data yang dimiliki masih minim. BPPT tengah mencoba mempelajari kejadian tsunami kemarin dengan membuat simulasi.
Ahli tsunami BPPT Widjokongko menjelaskan Gunung Krakatau memang punya sejarah memicu tsunami. Terakhir tsunami terjadi ketika Gunung Krakatau erupsi pada 1883. Ketika itu, tinggi gelombang laut mencapai 4-5 meter di beberapa pulau Kepulauan Seribu, dan 20-30 meter di Lampung. Saat itu puluhan ribu orang tewas.
Widjokongko sempat menyebut ada potensi tsunami di Pandeglang Jawa Barat setinggi 57 meter pada April lalu. Potensi itu disebabkan gempa bumi 'megathrust', atau aktivitas tumbukan lempeng.
Dia mengatakan potensi tsunami susulan masih ada. Sebab sejak Juni lalu, Anak Krakatau memang tengah di fase erupsi.
"Apakah ini erupsi puncaknya atau bukan, kita tidak tahu. Kita belum tahu kapan rampungnya. Apalagi ini bukan mekanisme seismik," kata Widjojongko.
Baca juga:
- PVMBG Sebut Tsunami di Banten Tidak Berkaitan Dengan Aktivitas Krakatau
- BMKG: Tsunami Banten Tak Dipicu Gempa Tektonik
Faktor Meteorologi
Kemungkinan lain penyebab gelombang tsunami di Selat Sunda datang dari peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menyangsikan jika tsunami Sabtu malam lalu disebabkan aktivitas vulkanik. Sebab menurut dia, sebelum tsunami terjadi tidak ada perubahan aktivitas Gunung Anak Krakatau yang signifikan. Dia menduga tsunami kemarin disebabkan faktor meteorologi.
"Layak dipertimbangkan bahwa kemungkinan pemicu tsunami itu sebagai fenomena meteo-tsunami. Tsunami yang dipicu gangguan tekanan atmosferik. Jadi, tekanan udara di atas permukaan air laut (terganggu)," ujar Eko.
Eko menambahkan, berdasarkan catatan waktu tiba gelombang di sejumlah lokasi, gelombang justru muncul di pantai-pantai yang lebih jauh dari Anak Krakatau.
"Pada titik terjauh, datangnya gelombang tsunami lebih cepat dari titik-titik yang posisinya lebih dekat ke Anak Krakatau. Artinya, rasanya sumbernya tidak di Anak Krakatau," kata Eko.
Menurut dia, meteo-tsunami sebelumnya belum pernah terjadi di Indonesia. Selama ini fenomena itu banyak terjadi di Amerika Serikat, Laut Mediterania, dan Jepang. Namun bila memperhitungkan faktor perubahan iklim, menurutnya, kemungkinan itu bisa terjadi.
Baca juga:
- Kesaksian Warga Pandeglang: Tsunami Terdengar Seperti Suara Pesawat Jatuh
- BNPB Akui Ada Kelemahan Sistem Peringatan Dini Tsunami
Editor: Agus Luqman