BERITA

50 Ibu Membuktikan Uang Rokok Lebih Bermanfaat Jika Dibelikan Makanan Bernutrisi

"keterjangkauan harga rokok menjadi salah satu pemicu terbesar tingginya konsumsi rokok pada keluarga di Indonesia, termasuk tentu saja keluarga miskin"

50 Ibu Membuktikan Uang Rokok Lebih Bermanfaat Jika Dibelikan Makanan Bernutrisi

Jakarta, 22 Desember 2017 – Merayakan Hari Ibu 2017, lima puluh ibu di Jakarta berbalapan belanja dan membuktikan bahwa dengan uang belanja rokok seminggu pun, mereka bisa berbelanja makanan bernutrisi lengkap untuk keluarganya. Kegiatan bertajuk #IbuCerdas Shopping Race ini diselenggarakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau di Pusat Perbelanjaan Hypermart, Pejaten Village, Jakarta sebagai bagian dari kampanye #RokokHarusMahal untuk mendorong pemerintah menaikkan harga rokok setinggi-tingginya agar keluarga miskin dan anak-anak tidak mampu beli.

Laporan WHO tentang epidemi tembakau global 2017 menyebutkan bahwa harga rokok di Indonesia adalah yang termurah di dunia, yaitu masih ditemukannya rokok dengan harga Rp 5.833 per bungkus. Seperti yang diungkapkan dalam hasil survei yang dilakukan Yayasan Lentera Anak (2017), saat ini, industri rokok menggunakan taktik promosi penjualan yang menunjukkan harga per batang sehingga sangat mudah menarik anak-anak dan keluarga miskin untuk membeli rokok. 

Untuk itu, Komnas Pengendalian Tembakau berusaha mendorong agar pemerintah menaikkan harga rokok setinggi-tingginya agar anak-anak dan keluarga miskin tidak mampu lagi membeli rokok. Dengan demikian, beban ekonomi akibat konsumsi rokok dapat ditekan pada keluarga miskin, dan uang yang biasa dibelanjakan untuk membeli rokok dapat dialokasikan ke pengeluaran lain yang jauh lebih bermanfaat. Di sisi lain, anak-anak juga terhindar dari menjadi perokok pemula yang akan kecanduan di masa depannya sehingga roda beban ekonomi akibat konsumsi rokok juga terhindari.

“Biasanya, pihak yang paling kesusahan dalam keluarga akibat konsumsi rokok adalah istri. Gara-gara beli rokok suami, misalnya, uang belanja yang seharusnya bisa dipakai untuk beli telur, daging, atau makanan sehat untuk keluarga jadi berkurang. “Jatah nutrisi” anak pun akhirnya ikut berkurang. Belum lagi, mereka juga menjadi perokok pasif di rumah,” ungkap Mia Hanafiah, Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau saat membuka acara. Namun menurut Mia, tidak sedikit pula ibu-ibu atau istri yang tidak menyadari ini sehingga terus membiarkan suami membeli rokok dan mengalahkan pengeluaran yang lebih penting. “Untuk itu, kita juga harus menyadarkan para istri dan melibatkan mereka untuk turut aktif mengajak keluarga mereka untuk stop beli rokok,” tambahnya.

Dengan tujuan di atas, Komnas Pengendalian Tembakau membuat kampanye kreatif *#RokokHarusMahal* yang melibatkan 50 ibu di Jakarta dalam *#IbuCerdas Shopping Race*. Dalam kegiatan ini, para ibu akan diberi “modal” sebesar Rp 91.000, yaitu jumlah uang rokok selama satu minggu (dengan asumsi harga tengah rokok murah yang mampu dijangkau uang jajan anak sekolah – Lentera Anak, 2017; yaitu sebesar Rp 13.000 per bungkus). Dengan uang sebesar Rp 91.000, para ibu ditantang untuk berbalapan membeli makanan bernutrisi untuk keluarga. Dengan melibatkan ahli gizi, dalam acara ini para ibu akan membuktikan bahwa hanya dengan uang belanja rokok seminggu, ibu-ibu dapat memenuhi kebutuhan makanan sehat bernutrisi lengkap untuk keluarganya.

“Menurut kami, keterjangkauan harga rokok menjadi salah satu pemicu terbesar tingginya konsumsi rokok pada keluarga di Indonesia, termasuk tentu saja keluarga miskin. Karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk segera menaikkan harga rokok sampai tidak lagi terjangkau oleh keluarga miskin dan anak-anak kita,” jelas Mia lagi.

Pemerintah diharapkan dapat menaikkan harga rokok sampai tak terjangkau keluarga miskin dan anak-anak dengan meningkatkan cukai rokok dan menetapkan harga jual eceran (HJE) yang tinggi. 

  • komnas pt

Komentar (0)

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!